Titian Pelangi adalah buku kompilasi cerpen Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Buku ini diterbitkan Mizan, Bandung.
Ada delapan cerpen remaja di dalam buku setebal 128 halaman ini. Masing-masing pengarang, menyumbangkan empat cerpen.
Titian Pelangi sendiri yang didapuk jadi judul di halaman sampul adalah cerpen anggitan Helvy Tiana Rosa yang mengisahkan liuk luka kehidupan keluarga Ita. Mereka berasal dari kalangan tidak mampu (secara finansial).
Mulanya, ayah Ita berprofesi sebagai sopir dengan abangnya sebagai kernet. Namun, keduanya meninggal saat armada yang mereka bawa, terlanggar truk pengangkut pasir.
Guna menafkahi keluarga, Ita berjualan di depan rumah. Penganan seperti kolak, bubur kacang hijau, pacar cina, dan kue kering buatan sendiri, dia jajakan, dibantu adik-adiknya. Ibunya menjadi buruh cuci dan setrika.
Seolah belum cukup ditimang nestapa, rumah mereka di bilangan Kramat Pedalaman, dilalap kebakaran hebat. Saking kagetnya, ibu Ita kena serangan jantung. Nahas. Adik bungsu Ita, laki-laki, gosong, terpanggang di dalam rumah.
Ita dan kedua adik perempuan yang selamat, menumpang di rumah tante mereka di Kemayoran. Ita semakin giat bekerja. Serabutan. Apa saja. Terpenting, halal, mulai dari jualan penganan ringan, menjahit pakaian, dan sebagainya.
Kesibukan kerja ternyata menyedot energi Ita sampai tandas. Dia jatuh sakit. Levernya kena. Dokter mengharuskan bed rest jika tidak mau dirawat inap di rumah sakit.
Ita merintangi ujian hidup tersebut dengan tabah. Tidak sekalipun dia menganggap rentetan kejadian pilu yang menimpa keluarganya sebagai malapetaka. Tentu tidak, karena Ita hanya menyakininya sebagai ujian, sebagai bentuk kasih sayang Allah untuk meninggikan derajat hamba-Nya.
Secara umum, cerpen-cerpen yang ditampilkan dalam buku ini, menggunakan bahasa tutur yang sederhana. Tidak ada alur canggih, maju-mundur. Tidak ada plot twist yang nendang. Tidak ada diksi yang diindah-indahkan, sehingga justru tak terasa indah.
Helvy dan Asma merangkai cerpen-cerpen mereka dengan bahasa yang relatif ‘lugu’ (mungkin, karena cerpen-cerpen ini ditulis tatkala keduanya masih berusia belia). Namun, pembaca dapat merasakan, betapa kedelapan cerpen di dalam buku ini, ditulis dengan kesungguhan hati, berangkat dari kepedulian dan cinta akan sesama.
Pepatah mengatakan, sesuatu yang ditulis dengan hati, akan sampai ke hati. Demikianlah getar kepedulian, gebalau empati, yang Helvy dan Asma rasa-kecap-pikir-tulis, terasa meresap ke sanubari pembaca.
Mungkin, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa buku kumpulan cerpen ini dapat menjadi media untuk membasuh nurani agar kembali bening dari noda dan cela. Semoga.