Segenggam Gumam adalah buku kumpulan esai karya Helvy Tiana Rosa, penulis ternama yang aktif berkeliling Indonesia mengkampanyekan cinta membaca dan giat menulis, lewat Forum Lingkar Pena (FLP) yang ia dirikan.
Sebagai penulis, karya fiksi dan nonfiksi Helvy punya tempat tersendiri di hati pembaca. Cerpennya Ketika Mas Gagah Pergi (telah dibukukan dengan cetak ulang berkali-kali dan difilmkan) menjadi kecintaan dan media hijrah banyak remaja generasi 1990-2000-an.
Cerpen, cerita bersambung, novelet, puisi, naskah drama karya perempuan kelahiran Medan ini juga banyak digandrungi pembaca, sebut saja: Bara Shafiyah, Akira Muslim Watashiwa, Mata Ketiga Cinta, dan Tanah Perempuan.
Helvy juga berpengalaman sebagai redaktur dan pemimpin redaksi Annida, majalah remaja yang pernah sangat populer dekade 90-an. Sekali terbit, oplah majalah ini mencapai ratusan ribu eksemplar. Banyak penulis terkemuka Tanah Air, saat ini, yang awal kariernya dirintis (di antaranya) lewat majalah ber-tagline: Sahabat Remaja Berbagi Cerita.
Buku setebal xvi + 172 halaman ini, menyoroti sejumlah persoalan di dunia literasi Indonesia, misalnya mengenai eksistensi sastra Islam yang kerap mengundang polemik berbagai kalangan. Tak lain karena ada pihak-pihak yang menyebut pelabelan sastra Islam sebagai ‘pengotak-ngotakan sastra’.
Penulis senior seperti A.A. Navis bahkan menyatakan bahwa sastra Islam adalah sesuatu yang utopis, untuk saat ini.
Kendati demikian, sastrawan Abdul Hadi W.M. mengatakan, “Sastra Hindu saja ada, mengapa sastra Islam tak ada?” pada Mei 2000 lalu.
Sayangnya, dalam pembahasan, Abdul Hadi hanya menyinggung sastra Islam sebatas karya yang terbit era lampau, ialah zaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fanzuri, Amir Hamzah, angkatan Pujangga Baru. Apakah berarti Abdul Hadi meragukan eksistensi sastra Islam, zaman sekarang? Atau justru tidak menganggapnya sama sekali?
Mengutip Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam, 13 Desember 1963, Helvy menyebutkan, “Kesenian (kesusastraan) Islam adalah manifestasi dari rasa, karsa, cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk umat manusia yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani.” (halaman 5).
Helvy berpandangan, tujuan kebudayaan (pada umumnya) dan kesenian (pada khususnya) tidak semata ‘seni untuk seni’ atau ‘seni untuk rakyat’ tetapi dapat lebih luhur yakni ‘seni untuk kebaktian di hadirat Allah’ yang dengan sendirinya mencakup tujuan memajukan kesenian bermanfaat lahir batin untuk kemanusiaan.
Helvy menandaskan, bagi penulis sastra Islam, karya tidak menjelma jadi ‘macan kertas’ dengan doktrin ‘sastra untuk sastra’, atau ‘sastra untuk kebebasan’ melainkan harus dipikirkan cara menjadikan sastra sebagai sarana dakwah yang bukan saja memberikan pencerahan fikriyah, juga ruhiyah bagi pembaca. Dalam konsep Islam kaffah (menyeluruh), sastra adalah satu kaki dari kaki dakwah lainnya.
Di halaman lain, Helvy menyoroti perihal bacaan anak-anak di Indonesia (sekadar info, ibu dua anak ini baru saja menelurkan buku cerita anak berjudul Pippi Gadis Kecil dari Tepi Rel Kereta Api), kelemahan penulis pemula, perkembangan Forum Lingkar Pena yang ia dirikan pada 1997, seputar kasus plagiat seorang doktor Malaysia terhadap karya-karya Helvy.
Helvy juga membahas sejumlah karya sastra atau kepenulisan terbaru juga klasik, seperti novel Larung, Tujuh Musim Setahun, Ode untuk Leopold von Sacher Masoch, Kitab Keabadian, Lelaki yang Mengawini Ceritanya, dan Matinya Seorang Pahlawan.
Secara keseluruhan, buku ini enak dibaca (terutama bagi kalangan awam) dan masih sangat relevan jika dicetak ulang dengan penambahan sejumlah tulisan baru. Soal dunia film, misalnya (karena lebih dari lima tahun ini, Helvy kian intens menggeluti bidang ini).
Video yang mungkin Anda suka: