Pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tahun 1949, pihak pemerintah Indonesia dan Belanda melakukan beragam kerjasama yang bertujuan untuk menunjang sarana dan prasaran pembangunan nasional. Dalam aspek dunia kedirgantaraan, pemerintah Indonesia melalui GIA (Garuda Indonesia Airways) melakukan beragam upaya guna memperkenalkan dunia penerbangan sipil ke masyarakat secara luas.
BACA JUGA: 7 Potret Viral Hasil Masakan MasterChef Season 10, Panen Kritik Pedas Warganet
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam memperkenalkan dunia kedirgantaraan kepada masyarakat secara lebih luas adalah dengan mengadakan pelatihan calon-calon awak penerbang, khususnya pilot dan kru penerbangan sipil yang nantinya akan bertugas di Garuda Indonesia Airways (GIA). Salah satu langkah tersebut adalah menyekolahkan para calon pilot ke negeri Belanda yang kemudian dikenal dengan nama Grup RLS (Rijksluchtvaart).
Para Pilot Disekolahkan di Akademi Penerbangan milik Maskapai Belanda
Rijskluchtvaart sejatinya adalah sekolah penerbangan yang dikelola oleh maskapai pemerintah Belanda, yakni KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij). Hal ini dikarenakan karena sekitar 50% saham yang dimiliki oleh GIA adalah milik pemerintah Belanda yang dikelola melalui KLM sejak resmi berdiri secara de jure pada tahun 1950. Dilansir dari situs aviahistoria.com, program pendidikan penerbangan calon pilot sipil ini akan menyeleksi pemuda-pemuda mulai usia 18-25 tahun untuk disekolahkan ke Belanda menjadi pilot dengan standar Internasional.
Melalui beragam seleksi ketat mulai dari tes tulis, wawancara dam tes medis diketahui hanya 8 orang yang lolos untuk dapat menempuh pendidikan penerbangan di negeri Belanda. Mereka kemudian berangkat ke Belanda pada bulan November 1951. Di negeri Belanda, mereka akan mengikuti kembali pendidikan dan seleksi secara ketat guna memperoleh para pilot-pilot handal yang nantinya akan menjadi penerbang di GIA.
Melakukan Uji Terbang Secara Ketat dan Bertahap
Selama pelatihan, beberapa calon pilot yang lolos ke tahap flying test atau uji terbang harus melakukan serangkaian uji penerbangan yang dilakukan secara bertahap. Pertama-tama mereka harus piawai dalam menerbangkan pesawat latih dasar De Havilland DH-82A Tiger Moth dengan minimal jam terbang sekitar 80 jam. Kemudian mereka berlanjut ke Saab Safir guna memperoleh instrument jam terbang selama belasan jam.
BACA JUGA: Viral! Dexter Cosplay DIduga Minta Foto Bugil, Cuci Otak Anak dengan Pornografi
Lalu, di tahap berikutnya mereka harus sukses melakukan uji terbang menggunakan pesawat AT-6 Harvard selama 90 jam terbang. Terakhir, mereka harus mengumpulkan jam terbang menggunakan pesawat Beechcraft D18S Twin Beech selama kurang lebih 100 jam terbang.
Mencetak Lulusan Pilot Berlisensi Internasional
Karena proses pendidikan yang masih terbilang konservatif saat itu, maka beberapa pilot tersebut menyelesaikan program pendidikan di Belanda dengan tempo yang berbeda-beda. Hal ini karena didasarkan kemampuan masing-masing individu yang masuk ke dalam program tersebut tidak sama satu dengan yang lainnya. Namun, seluruh lulusan pendidikan tersebut yang mampu melanjutkan ke tahap uji terbang memiliki lisensi CPL (Commercial Pilot License) + IR (Instrument Rating) dan ME-R (Multi Engine-Rating).
Saat kembali ke Indonesia, mereka kemudian melakuka ujian kembali guna memperoleh lisensi SCPL dan ATPL (Senior Commercial Pilot License) dan (Airline Transport Pilot License) yang dilakukan oleh Departemen Hubungan Udara. Para lulusan pilot dari RLS tersebut pada akhirnya mengabdi di GIA (Garuda Indonesia Airways) selama puluhan tahun. Bahkan, ada beberapa alumni tersebut yang diketahui masih bertugas pada dekade 1990-an.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS