Review Film Bismillah Kunikahi Suamimu, Cita Rasa Sinetron Bikin Julid!

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film Bismillah Kunikahi Suamimu, Cita Rasa Sinetron Bikin Julid!
Foto Film Bismillah Kunikahi Suamimu (Maxstream)

Film Bismillah Kunikahi Suamimu, ditulis dan disutradarai oleh Benni Setiawan, hasil dari adaptasi novel Vyntiana Itari. Tayang pada 23 Februari 2023 di bioskop Indonesia dan kalian sudah bisa menontonnya di MAXSTREAM. Film ini melibatkan Mikha Tambayong sebagai Hanna, Syifa Hadju sebagai dr Cathy, dan Rizky Nazar sebagai Malik. Ditambah jajaran bintang lainnya: Refal Hady, Unique Priscilla, dan Dede Yusuf.

Kisah "Bismillah Kunikahi Suamimu" mengisahkan Malik (Rizky Nazar) dan Hanna (Mikha Tambayong) yang menanti kelahiran anak pertama. Suatu ketika, dokter kandungan Hanna berhalangan memeriksanya, muncullah dokter muda yang memeriksa Hanna. Dokter muda itu bernama Cathy (Syifa Hadju), sahabat Hanna dan mantan kekasih Malik. Rupanya Hanna terkena kanker, dan mengancam nyawa dan janinnya. Operasi pun diperlukan, tapi kesempatan selamatnya kecil. Suatu hari, Hanna ingin sebelum meninggal, Malik menikahi Cathy. Meski menolak awalnya, setelah persetujuan banyak pihak, Ijab Qabul antara Malik dan Cathy dilakukan di rumah sakit. 

Ulasan:

"Bismillah Kunikahi Suamimu" mencoba memvisualkan pesan novel Itari ke dalam dunia layar lebar. Sayangnya, film ini memulai perjalanan dengan membawa gelombang kekecewaan yang membuatku menggerutu sepanjang durasi. Konflik ala-ala sinetronnya membuatku merasa kesal, seolah-olah skripnya dicampuradukkan dengan elemen dramatis yang terkesan dibuat-buat. Dialog yang terlalu lebay pun semakin menambah rasa cringe, membuatku nggak kuasa menahan gelengan kepala dan tawa yang lebih mirip ekspresi JULID!

Sekilas, tema poligami dihadirkan dalam plot film ini, dan sebenarnya aku nggak memiliki masalah dengan tema tersebut. Namun, hal itu berubah ketika film ini terkesan meromantisasi poligami. Rasanya, film semacam ini seharusnya ditonton dengan lapisan iman yang lebih tebal, agar nggak terhanyut oleh pesan yang disampaikan dengan cara yang terlalu murahan. 

Sayangnya, nggak hanya cerita yang buruk, tetapi penyutradaraan film ini juga terkesan alakadar. Sutradara sepertinya kehilangan arah, membuat penyampaian cerita menjadi amburadul. Visual yang nggak memukau semakin memperburuk kesan keseluruhan, membawa film ini ke dalam kategori yang terlalu biasa. Cinematography yang kurang berkesan juga nggak membantu film ini untuk bersinar di mata penonton.

Hasilnya, film ini hanya mampu meraih skor 3/10 dari penilaianku. Ini subjektif, ya. Aku tetap menyarankan buat yang kepo dan mau tahu langsung, silakan tonton di MAXSTREAM. Akan tetapi aku nggak bisa menjamin bahwa pengalaman menontonnya akan memuaskan. Mungkin, film ini dapat dinikmati jika kamu memiliki toleransi yang tinggi terhadap kelemahan skrip, penyutradaraan yang kurang memadai, dan romantisisasi tema kontroversial seperti poligami.

Sebagai penonton, aku berharap agar industri film lebih memperhatikan kualitas cerita, penyutradaraan, dan penggarapan visual untuk memberikan pengalaman terbaik kepada penontonnya. Semoga film-film mendatang dapat menghindari jebakan konflik sinetron dan memberikan cerita yang lebih berkualitas serta mendalam.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak