Realitas Kaum Betawi yang Tergusur Zaman dalam Novel 'Kronik Betawi'

Sekar Anindyah Lamase | Rie Kusuma
Realitas Kaum Betawi yang Tergusur Zaman dalam Novel 'Kronik Betawi'
Buku Kronik Betawi (Gramedia.com)

Novel 'Kronik Betawi' karya dari Ratih Kumala, sebelum diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2009) pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Republika (Agustus-Desember 2008).

Kronik Betawi mengisahkan tentang keluarga Betawi asli, pasangan dari Junaedi (Bung Juned) dan Ipah yang memiliki tiga orang anak, yaitu: Jaelani, Jarkasi, dan Juleha. Dari pernikahan keduanya dengan Riyah, ia memperoleh anak bernama Fajar.

Juned mendapat panggilan ‘Bung’ karena di masa masuknya tentara Jepang ke Indonesia, ia pernah menolong keluarga Tuan Henk, majikan Juned—yang memiliki usaha pengelolaan sapi perah dan ia bekerja sebagai tukang antar susu—dari serangan tentara Jepang.

Ketika Tuan Henk kembali ke Belanda, majikannya itu mewariskan enam ekor sapi yang tersisa kepada Juned. Ia kemudian mengembangkan usaha sapi perah dan mewariskannya pada anak tertuanya, Jaelani.

Jarkasi sendiri lebih memilih untuk terjun dalam dunia kesenian Betawi, seperti Lenong dan Gambang Kromong untuk melestarikan budaya asli Indonesia tersebut.

Edah, anak Jarkasi, mengikuti jejak sang ayah dengan menjadi penari tradisional Betawi meskipun ibunya, Enden, tak menyetujui. Edah yang bercita-cita ingin menari sampai ke luar negeri juga sempat mengalami penipuan dari Bramantyo yang pernah mengajaknya menari di Jepang.

Sementara Juleha, anak bungsu dari Juned, menjadi ibu rumah tangga setelah dinikahi Jiih, yang mempunyai usaha percetakan dan juga seorang penceramah kondang. Namun, saat Juleha tak kunjung memperoleh anak, Jiih menikah lagi dengan seorang janda kembang yang memberinya seorang anak.

Dalam novel Kronik Betawi, konflik yang dibangun cukup beragam. Mulai dari rumah yang digusur, anak-anak Jaelani, Japri dan Juned (dinamai seperti nama sang kakek) yang pemalas dan memilih putus sekolah kemudian ngojek daripada meneruskan usaha Jaelani, sampai tradisi ‘tukang kawin’.

Belum lagi ditambah dengan perkara-perkara yang menyentil pemerintah, salah satunya tentang Porkas, yaitu judi yang dilegalkan pemerintah saat itu.

Novel ini dikemas dengan dialek Betawi yang nyablak dan segar, mengingatkan saat saya masih tinggal di kampung Betawi dan memudahkan saya untuk mencerna bahasa yang digunakan. Namun, bagi orang awam mungkin akan kesulitan memahami beberapa diksi yang tak lazim digunakan, seperti: ngelaba, seserok, kendiri.

Cerita menggunakan alur campuran dan di dalamnya ada dua periode yang berbeda. Periode pertama, awal kehidupan Junaedi lajang sampai menikah dengan Ipah saat di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Periode kedua, kehidupan anak-anak mereka, yaitu: Jaelani, Jarkasi, dan Juleha beserta keluarganya, di masa awal-awal maraknya pembangunan di Jakarta sampai ke masa Reformasi 1998.

Kekurangan novel ini adanya kerancuan dalam penyebutan posisi ‘abang-adik’ antara anak-anak Jaelani, yaitu: Japri dan Juned. Di halaman 22 dan 85, Japri adalah abang. Namun, di halaman 79 dan 201, yang disebut sebagai abang adalah Juned.

Selain dari minimnya kesalahan tersebut, novel Kronik Betawi berhasil menyajikan realita kehidupan orang Betawi asli yang perlahan tapi pasti tergusur oleh zaman. Dan cukup mewakilkan keresahan kaum Betawi yang 'katenye yang punye Jakarte'.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak