Ulasan Novel Bumi Manusia: Kisah Hidup dan Asmara Seorang Pribumi

Ayu Nabila | Rizky Melinda Sari
Ulasan Novel Bumi Manusia: Kisah Hidup dan Asmara Seorang Pribumi
Bumi Manusia (gramedia.com)

Bumi Manusia, sebuah karya legendaris dari Pramoedya Ananta Toer yang telah diangkat menjadi film. Kamu sudah pernah baca versi bukunya?

Identitas Buku

Judul Buku: Bumi Manusia

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Hasta Mitra

Tebal: 416 halaman

Cetakan Kesembilan, Oktober 2002

Ulasan Novel Bumi Manusia

Bumi Manusia, buku pertama dari tetralogi Pulau Buru. Melalui buku ini, Pram mampu membuatku sebagai pembaca seperti diajak menonton film, bahkan lebih. Seakan aku diajak memasuki mesin waktu, menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan berjalan pada zaman Indonesia masih berada di bawah cengkeraman Belanda. 

Buku yang sempat dilarang terbit ini mengisahkan pergulatan batin seorang lelaki muda yang biasa dipanggil Minke. Minke seorang pribumi yang mampu bersekolah di H.B.S., sekolah yang hanya mampu digapai oleh orang-orang tertentu saja. Di sana ia belajar ilmu pengetahuan dari para guru Eropa. 

Suatu kali, teman satu sekolahnya, Robert Suurhof, mengajaknya pergi ke sebuah rumah yang ternyata adalah rumah Nyai Ontosoroh. Di sanalah awal pertama kali ia bertemu dengan Annelies. Annelies Mellema.

Rupanya gadis cantik tersebut sangat lekas menaruh hati pada tamu pertamanya di rumah itu. Minke, sebagaimana halnya lelaki normal, tentu saja terpesona dan tertarik pada Annelies yang cantik wajahnya mengalahkan Ratu Wilhelmina. 

Cerita berlanjut, hingga Minke diminta untuk tinggal di rumah Nyai Ontosoroh, lantaran Nyai merasa bahwa anak gadisnya, Annelies, tidak pernah berperilaku sedemikian rupa seperti setelah bertemu dengan Minke. Tinggalah Minke di rumah itu. Itulah awal mula kisah perjalanan hidup Minke.

Dari segi bahasa, aku rasa memang lumayan berat untuk aku yang terbiasa membaca cerita dengan bahasa santai. Tapi hal ini jugalah yang mempertegas suasana zaman dulu. Perjalanan Minke diceritakan dengan sangat detail, sehingga aku sebagai pembaca mampu membayangkan setiap perasaan yang dirasakan oleh Minke, ketika ia memberi penghormatan menghadap ayahnya, ketika ia terkesima melihat kesempurnaan wajah Annelies, sampai kesedihan yang ia rasakan ketika pada akhirnya ia harus berpisah dengan istrinya. Semua dijabarkan dengan jelas, dengan bahasa yang sangat indah (walaupun sedikit berat, tapi tetap indah). 

Dalam cerita ini, Pram juga mengisahkan tentang kehidupan zaman dulu yang sangat menganggungkan derajat orang-orang kulit putih. Segala aturan, segala keputusan, berada di tangan kulit putih. Orang-orang Eropa, Belanda. Sangat tampak perbedaan kasta yang membentang antara pribumi dengan Belanda.

Membuatku miris sekaligus bersyukur hidup di zaman sekarang yang tidak ada batasan yang dibuat hanya karena perbedaan warna kulit dan kebangsaan.

Minke membuktikan bahwa sekali waktu pribumi juga mampu berdiri sejajar bahkan melebihi para kulit putih, terbukti dengan ia berhasil lulus dari H.B.S sebagai lulusan terbaik kedua. Minke mengajarkan bahwa kita harus memperjuangkan apa yang kita mau, dan jangan sampai tunduk pada nasib yang senantiasa merendahkan pribumi.

Aku menyarankan buku ini agar dibaca oleh pemuda-pemudi zaman sekarang, untuk diambil bagian-bagian penting dan menginspirasi. Dan untuk hal-hal yang menurutku kurang bisa dijadikan teladan, baiknya dinikmati saja sebagai pelajaran, karena memang pada hakikatnya manusia tidak pernah tidak berbuat salah.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak