Manusia di zaman modern kerap menggembar-gemborkan hidup minimalis sebagai gaya hidup masa kini. Minimalis di sini adalah konsep berperilaku sederhana, tidak berlebihan, efektif dan efisien. Mulai dari tatanan rumah, pemilihan barang-barang, pakaian, makanan-minuman, hingga kendaraan. Hasilnya adalah hidup yang simpel, dan rapi.
Namun, tahukah kamu bahwa Rasulullah telah mencontohkan gaya hidup minimalis sejak masa hidup beliau? Semua aspek kehidupan beliau, sebagaimana direkam oleh hadis-hadis yang diriwyatkan oleh istri maupun para sahabat Rasulullah, begitu penuh kesederhanaan dan hikmah. Oleh karena itu, sejatinya beliau lah orang yang patut dijadikan rujukan dan referensi, dalam menerapkan gaya hidup minimalis.
Masalahnya, tidak semua orang (baca: generasi muda) bersedia menekuri langsung buku-buku agama yang memuat riwayat hidup Rasulullah. Alasannya macam-macam, mulai dari merasa susah meluangkan waktu, hingga rasa sungkan membaca yang berat-berat. Dengan alasan itu, kehadiran buku yang ditulis dengan gaya popular amat dibutuhkan pembaca masa kini.
Saya pikir buku Hidup Minimalis ala Rasulullah ini bisa menjawab kebutuhan tersebut di atas. Penulisnya, Ratnani Latifah, menjabarkan aspek-aspek kehidupan Rasulullah yang sederhana ke dalam lima bab. Masing-masing bab berisi sejumlah kisah dari sumber yang valid, dihubungkan dengan contoh kasus yang kerap terjadi di kehidupan masa kini. Sehingga pembaca merasa relate.
Pada bab pertama ‘Sederhana Membawa Berkah’, ada kisah yang menyoal perkara rumah (hlm. 2-10). Diilustrasikan Mawar yang merasa iri dengan sahabatnya, Intan. Pasalnya, rumah Mawar amat sederhana; lantainya tanah, temboknya bata biasa, dan tak ada perabot istimewa. Sedangkan rumah Intan amat nyaman, dengan ukuran yang luas, serta berperabot lengkap. Maka timbullah iri di dada Mawar. Ia merasa malu, tertekan, dan bertekad mempunyai rumah yang lebih baik.
Bukankah ini sering kita temui? Perasaan yang muncul akibat sawang-sinawang milik orang lain, adalah sumber ketidakbahagiaan. Ratnani lalu menyitir penjelasan dari Al- Qur’an dan hadis, bahwasannya hidup di dunia hanya sementara. Ketimbang menginginkan rumah yang indah di dunia, mengapa kita tidak membangun rumah yang lebih indah di akhirat?
Ratnani menuliskan keadaan rumah Rasulullah, seorang Nabi dan Rasul, kepala negara, serta kekasih Allah. Rumah beliau sangat sederhana. Dindingnya dari tanah liat, beralas tanah, dan atapnya pelepah kurma. Ukurannya pun hanya berkisar 8 x 4 meter, dibagi dua bagian: satu tempat beristirahat, satunya lagi ruangan serba guna. Demikian pula perabotan yang seperlunya saja.
Padahal jika Rasulullah mau, dengan mudah beliau bisa tinggal di rumah mewah melebihi Raja Romawi, maupun Kisra Persia. Tetapi itu tidak beliau lakukan karena Rasulullah mengetahui bahwa hakikatnya hidup di dunia hanya sementara, akhiratlah tempat kembali yang kekal. Oleh sebab itu, selayaknya kita meneladani kesederhanaan Rasulullah tersebut.
Demikian pula keadaan tempat tidur, pakaian, sandal dan sepatu, gelas, hingga makanan Rasulullah, yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Semuanya diterangkan oleh Ratnani, beserta ilustrasi kisah di masa kini. Betapa kita ternyata sering berlaku mubazir. Kita lupa hakikatnya semua kebendaan bersifat fana, tidak dibawa mati.
Masih ada empat bab lain yang memberi pencerahan, yaitu: ‘Bersyukur Resep Bahagia’, ‘Ikhlas dan Tawakal Kunci Ketenangan’, ‘Boros Temannya Setan’, dan ‘Bahaya Berlebih-lebihan’. Saya jamin, pembaca tidak akan dibuat mengerutkan kening, karena gaya bahasa yang digunakan Ratnani begitu lugas.
Jika pun ada kekurangan pada buku setebal 182 halaman, terbitan Syalmahat Publishing, tahun 2021, ini hanyalah perkara sejumlah salah ketik. Selain itu ukuran huruf terlampau kecil, sehingga agak kurang nyaman dibaca. Minimnya gambar ilustrasi juga membuat buku ini betul-betul tampil minimalis.
Namun di atas semua kekurangan tersebut, menurut saya buku ini layak kamu miliki dan baca. Sebagai bahan pencerahan bagi jiwa kita, tentunya. Selamat membaca!