Cerita anak tidak selalu berakhir bahagia. Setidaknya hal tersebut saya dapati dalam Buku Cerita Anak klasik dari berbagai negara, yang diterjemah oleh Nurul Hanafi, dan dipublikasi oleh Penerbit Kakatua, pada September 2020, setebal 93 halaman.
Ada sebelas cerita di antaranya merupakan karya Beatrix Potter, Margery Williams, Joseph Martin Kronheim, dan Watty Piper. Sedangkan sisanya merupakan cerita rakyat (folk-lore) yang sudah tidak diketahui penutur aslinya.
Salah satu cerita anak populer di buku ini berjudul Kisah Si Peter Rabbit, karya Beatrix Potter (hlm 1-18). Kisahnya mengikuti si Peter, anak kelinci nakal yang sengaja melanggar pesan ibunya untuk tidak pergi ke kebun Pak Mc Gregor.
Di kebun itu ia memakan tanaman-tanaman segar, hingga terpegok oleh Pak Mc Gregor. Di titik inilah petualangan Peter dimulai. Ayah Peter pernah kecelakaan di kebun itu, dan berakhir menjadi daging burger. Artinya si pemilik kebun bukanlah orang yang berbelas kasih kepada hewan pengganggu. Sehingga Peter pun berusaha melarikan diri sejadi-jadinya.
Adegan Peter melarikan diri didukung oleh ilustrasi klasik berwarna hitam-putih yang cakep. Pembaca dibuat ikut gemas, atau malah bersimpati mengikuti kejar-kejaran antara Peter dan Pak Mc Gregor. Syukurlah Peter berhasil lolos meskipun akhirnya ia jatuh sakit.
Melalui alegori kisah Peter Rabbit ini, penulisnya dengan lugas menyampaikan pesan tegas pada anak-anak: kamu harus siap menanggung konsekuensi dari perbuatan burukmu. Pesan yang sama ada di kisah lain, yakni Bapa Frost si Raja Beku (hlm. 65-70). Bahkan dongeng anonim dari Rusia ini memiliki nuansa lebih gelap.
Dikisahkan, pada zaman dahulu ada seorang ibu petani yang mempunyai dua orang anak perempuan, satu di antaranya adalah anak tiri. Lazimnya ibu tiri dalam cerita, ia berlaku tak adil pada kedua anak tersebut. Anak kandungnya bebas berbuat semaunya, sebaliknya si anak tiri selalu diperlakukan buruk.
Suami ibu tiri jahat ini adalah lelaki lemah, yang tak bisa membela anak perempuannya sendiri. Termasuk ketika istrinya menyuruh ia membuang anaknya di tempat jauh dan sepi agar mati membeku, ia hanya bisa menangis dan menurut.
Namun si anak tiri ini berhati emas, tak pernah mengumpat dan mengeluh. Nasibnya membaik saat Bapa Frost yang biasanya senang membuat beku manusia, malah jatuh iba pada ketabahan si gadis. Bahkan Raja Beku itu menganugerahi aneka perhiasan emas dan perak, serta gaun-gaun indah.
Selanjutnya bisa ditebak, si ibu tiri iri hati. Ia tak mau anak gadisnya sendiri tak mendapat apa-apa. Karena itu ia kembali memaksa suaminya membawa si anak gadis manja ke tempat yang sama. Tetapi ia dan anak gadisnya kena batunya. Si Bapa Frost murka dan membuat gadis itu mati beku.
Bayangkan, dua kisah di atas adalah untuk anak-anak. Namun para penulisnya tak segan menaruh kematian sebagai ending bagi tokoh jahat. Sama sekali tak ada kesempatan kedua. Saya menduga ini ada hubungannya dengan kultur para penulis.
Sembilan cerita anak lainnya tak kalah menarik. Sebagai pembaca dewasa saya jadi memperoleh sudut pandang baru untuk mengenalkan realita hidup, yang terkadang tak ramah, kepada anak-anak. Jangan lupa dampingi anak-anak saat mereka ingin membaca buku ini, agar mereka bisa memahami cerita dengan baik.
Selamat membaca, sobat Yoursay.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.