Cinta mati adalah salah satu frase yang lekat tentang dua orang yang memiliki komitmen kuat untuk selalu bersama dalam rangka merayakan cinta mereka.
Bagi pasangan kekasih, memiliki ikatan cinta yang tidak mudah goyah hingga maut memisahkan barangkali adalah cita-cita yang hendak dibangun dalam sebuah hubungan.
Namun ada sebuah paradoks ketika menempatkan kata cinta dan mati ini dalam sebuah kalimat. Cinta mati bisa saja menandakan hubungan yang langgeng, tapi cinta yang mati juga menandakan bahwa cinta itu telah hilang dan pupus di tengah jalan.
Terkait hal tersebut, Henry Manampiring dalam buku berjudul 'Cinta (Tidak Harus) Mati' memiliki pandangan yang unik dan layak untuk direnungkan.
Dalam salah satu tulisan dengan judul yang sama dengan buku ini, Henry Manampiring menyebutkan bahwa cinta seringkali mati, tetapi sebenarnya cinta tidak harus mati.
Pada awal sebuah hubungan romansa, seseorang kadang terjebak dalam suatu fase cinta membara ketika otak dibanjiri oleh hormon dopamin.
Namun cinta membara semacam itu suatu saat akan padam, dan di situlah seseorang merasa mulai bosan dengan pasangannya.
Yang perlu diingat, cinta yang membara memang harus padam terlebih dahulu agar bisa melahirkan fase jatuh cinta kedua yang sarat akan rasa tenteram dan damai. Jadi, bukan lagi jenis cinta yang menggebu-gebu, tapi lebih ke arah perasaan companionship antara dua orang.
Nah, menurut Om Piring (begitu kerap ia disapa), cinta memang harus mati. Masalahnya, apakah kita sabar menantikan rainkarnasinya?
Persoalan cinta mati dan cinta tidak harus mati di atas hanyalah satu dari banyak hal yang menjadi fenomena yang dikritisi oleh Om Piring. Lewat buku ini, penulis yang populer dengan buku Filosofi Teras-nya ini membagikan sekumpulan hasil refleksinya terkait fenomena keseharian.
Fenomena tersebut sebenarnya terbilang receh, ringan, dan sepele. Tapi lewat nalar kritis dari Om Piring, semuanya terasa sangat insightful dan bermakna.
Bagi pembaca yang sudah familiar dengan gaya kepenulisan Henry Manampiring yang santai dan luwes, tentu sudah tidak meragukan lagi bagaimana penulis yang satu ini mampu memadukan opini pribadinya dengan sejumlah referensi ilmiah dari buku, survei, hingga sejumlah fakta dari berbagai penelitian. Hal tersebut juga bisa dijumpai dalam buku ini.
Meskipun pada bab-bab awal, saya merasa bahwa pembahasan survei jomblo dan gebet nasional yang dibahas panjang lebar dalam buku ini menjadi informasi yang kurang saya pahami relevansinya dengan keseluruhan isi buku. Saat membaca 2 bab tersebut, saya masih bingung dalam mengaitkan tujuan penulis memasukkan hal tersebut pada bab awal.
Tapi secara keseluruhan, buku Cinta (Tidak Harus) Mati ini cukup menghibur dan informatif. Bagi pembaca yang menginginkan bacaan ringan namun menginspirasi, salah satu dari karya Henry Manampiring ini bisa menjadi pilihan bacaan!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.