Ulasan Buku Tanah yang Terjajah: Kumpulan Puisi Bernuansa Politik

Ayu Nabila | Sam Edy
Ulasan Buku Tanah yang Terjajah: Kumpulan Puisi Bernuansa Politik
Gambar Buku ‘Tanah yang Terjajah’ (DocaPribadi/ Sam Edy)

Puisi termasuk karya fiksi yang bisa dijadikan sebagai sarana mengkritisi beragam kejadian atau hal yang bertentangan dengan nurani. Misalnya mengkritisi ketimpangan sosial di tengah masyarakat, menyindir para pejabat yang terlilit kasus korupsi, dan sebagainya.

Kita bisa membaca deretan puisi menarik karya Nizar Qabbani dalam buku  ‘Tanah yang Terjajah’ yang diterbitkan oleh penerbit Diva Press (Yogyakarta). Nizar adalah seorang penyair besar asal luar negeri, tepatnya di sebuah kawasan yang bernama Mundzinah Syahm. Di masa mudanya, selain menekuni kaligrafi, Nizar juga belajar melukis secara intens, hingga pada gilirannya lahirlah sebuah buku puisi berjudul Ar-Rasm bi al-Kalimat (Melukis dengan Kata-kata).

Sebagai penyair yang terlahir dari gagasan-gagasan cinta, Nizar tidak menolak bila dirinya didaulat sebagai “Penyair Cinta”. Justru ia menolak jika “Penyair Cinta” menjadi satu-satunya identitas yang ditempelkan begitu saja pada dirinya. Ia tidak mau seluruh hari-hari dalam hidupnya hanya dilihat dan dimaknai dalam konteks romantisme, asmara, dan wanita. Padahal, lika-liku hidupnya begitu keras dan betapa tragedi demi tragedi pernah menghantuinya (hlm. 10).

Selama tiga dekade akhir masa hidupnya, Nizar begitu intens menulis puisi-puisi politik. Pada periode ini, puisi-puisinya berhasil mencetak dirinya menjadi “politisi” dalam arti yang lain. Sebagai pribadi yang independen, ia tak memiliki afiliasi ke partai politik mana pun. Sebagai politisi puisi, ia selalu hadir sebagai oposisi. Lawan-lawan politiknya bukan satu rezim saja, tetapi seluruh penguasa Arab, terutama penguasa yang antikritik, membungkam kebebasan, dan tak pernah berupaya sungguh-sungguh untuk terlibat dalam pembebasan saudara-saudara Arab lain yang masih terjajah, seperti Palestina (hlm. 12).

Berikut ini beberapa bait puisi yang menarik disimak dari Nizar yang berupaya mengkritisi penguasa yang zalim sekaligus mengkritik para penyair yang tergiur bujuk rayu penguasa:

pada masa ini

penyair dikebiri bibirnya

ia bertugas membersihkan mantel penguasa

menuangkan anggur ke dalam cawannya

kata-kata penyair kini sudah dikebiri

betapa menyakitkan

ketika yang dikebiri adalah pikiran

Dari bait puisi tersebut kita bisa merenungi bahwa penguasa yang zalim itu memang antikritik. Selain itu, penguasa zalim enggan mengakui kezalimannya dan maunya disanjung-sanjung oleh bawahannya. Bahkan, ia bisa membeli apa saja, termasuk membeli kekuasaan dan hukum agar kezalimannya tak akan pernah menjebloskannya ke dalam penjara.

Pemimpin zalim juga bisa membeli kata-kata manis dari para penyair yang silau dengan gemerlap duniawi. Sehingga para penyair itu akan sungkan menyampaikan kritiknya karena, sebagaimana meminjam bait puisi Nizar: “penyair dikebiri bibirnya”.

Puisi berjudul ‘Cinta dan Minyak Tanah’ karya Nizar lainnya yang juga bernuansa politik bisa disimak dan renungi kedalaman makna baitnya dalam buku ini. Berikut petikannya:

Kapan Anda akan mengerti?

untuk tidak melumpuhkan saya lagi

dengan reputasi Anda

atau dengan kekuasaan Anda

dunia tidak akan pernah mengambil alih

minyak tanah dan segala kejayaan Anda

minyak tanah, aroma mantel Anda

Tentu masih banyak puisi karya Nizar Qabbani yang bisa disimak langsung dalam buku yang diterjemahkan oleh Musyfiqur Rahman ini. Kehadiran buku kumpulan puisi ini merupakan sesuatu yang berarti karena bisa menjadi bahan renungan bagi para pembaca.     

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak