Komunikasi itu pelik, apalagi bila para pelaku komunikasi itu berasal dari budaya yang berbeda. Nilai-nilai budaya khas yang dianut orang-orang berbeda budaya, seperti persepsi, kepercayaan, pengetahuan, pengalaman, kebiasaan, dan sebagainya, mempengaruhi mereka untuk memaknai simbol yang sama dengan cara berbeda, sehingga kesalahpahaman dan konflik tidak terhindarkan.
Buku Komunikasi Jenaka ini secara jenaka tapi cerdas menunjukkan berbagai kesalahpahaman komunikasi tersebut. Darinya kita juga jadi tahu bahwa realitas komunikasi begitu kompleks, sehingga terdapat berbagai cara, teori, atau model untuk menelaahnya agar lebih mudah dimengerti.
Komunikasi ternyata dapat pula dijelaskan lewat narasi yang bersahaja, seperti cerita atau pengalaman lucu, anekdot, guyonan, atau bahkan lelucon, untuk menumbuhkan kesadaran bahwa komunikasi itu memang tidak mudah dilakukan.
Baiklah, kali ini saya angkat dua cerita konyol dan pengalaman lucu yang termuat di dalam buku ini. Pertama, mengenai nama di Pulau Sumatera.
Di daerah Tanah Karo, Pulau Sumatera, ada suatu kebiasaan masyarakat setempat untuk memberikan nama pada anaknya yang baru lahir dengan nama benda-benda yang ada di sekitarnya, atau nama keadaan, dan nama-nama yang tidak lazim lainnya.
Jadi, bukan merupakan hal yang aneh apabila ada seseorang yang bernama Hujan Sipayung, Gelas Sembiring, Kursi Ginting dan sebagainya.
Pernah seorang pemuda Karo pergi merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dalam surat lamarannya tertera riwayat hidup dan data pribadinya. Pada waktu petugas personalia membaca surat lamarannya, petugas itu tidak dapat menahan rasa gelinya membaca nama pemuda itu. Di situ tertera nama dan tanggal lahirnya, yaitu Memperingati Sumpah Pemuda Bangun, lahir tanggal 28 Oktober 1972. (Halaman 103).
Kisah tak kalah menarik berjudul Masak Biji Salak. Kisah ini tentang pengalaman konyol memasak biji salak yang tidak masak-masak.
Tersebutlah Teh Ina, baru saja menikah. Baru-baru ini Teh Ina bercerita tentang pengalaman memasak biji salak. Ia bersama suaminya datang berkunjung ke rumah mertuanya di Jakarta. Kebetulan suaminya ini orang Betawi asli (Jakarta).
Saat itu mertuanya akan membuat "biji salak", tetapi karena ada suatu hal, mertuanya harus pergi dan meminta Teh Ina untuk melanjutkannya. Saat itu Teh Ina merasa bingung, apa mungkin biji salak bisa dimasak? Biji yang sebegitu keras, apa bisa lunak dengan hanya direbus dalam air mendidih?
Tetapi, karena mertuanya yang meminta, terpaksa Teh Ina mulai merebusnya. Satu jam, dua jam, biji salak itu belum juga empuk, sampai akhirnya mertuanya pulang dan menanyakan biji salak yang dibuatnya. Karena belum empuk-empuk juga, terpaksa Teh Ina bilang biji salaknya belum matang.
Semula mertuanya tidak menghiraukan, tetapi lama-kelamaan merasa curiga, apa sih yang dimasak oleh Teh Ina? Dan ternyata memang benar-benar biji salak. Mertuanya merasa geli melihat ulah menantunya yang satu ini, padahal yang dimaksud itu adalah makanan asli Betawi yang mirip sekali dengan candil. Dan makanan seperti ini dikenal dengan sebutan "biji salak." (Halaman 122).
Intinya, membaca buku ini tidak hanya membuat kita tersenyum renyah, tetapi juga bergumam, "ada-ada saja!" Sebab, anekdot dan lelucon yang terkandung di dalamnya itu memang mengundang tawa hingga terpingkal-pingkal.
Selamat tertawa dan teruslah membaca!
Identitas Buku
Judul: Komunikasi Jenaka
Penulis: Dr. Deddy Mulyana, M.A.
Penerbit: Remaja Rosdakarya
Cetakan: III, Desember 2006
Tebal: 304 Halaman
ISBN: 979-692-197-9
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS