Review Film Shadow Force: Bintang Besar Cerita Loyo

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film Shadow Force: Bintang Besar Cerita Loyo
Poster Film Shadow Force (IMDb)

Ada yang bilang, “Nggak ada yang lebih kuat dari ikatan keluarga.” Dominic Toretto dari semesta Fast & Furious bahkan sudah membangun seluruh filosofi hidupnya dari mantra itu. Dan kini, Film Shadow Force yang tayang di bioskop Indonesia lebih awal, 7 Mei 2025, mencoba menyalakan bara yang sama. 

Film action baru garapan Joe Carnahan, menghadirkan Kerry Washington dan Omar Sy sebagai pasangan mantan pembunuh bayaran yang berusaha melindungi anak mereka.

Ada pula Mark Strong hadir sebagai Jack Cinder, pimpinan Shadow Force yang licik, sementara Ed Quinn ikut meramaikan barisan pemain sebagai Parker. Di pinggiran cerita, Da'Vine Joy Randolph dan Method Man muncul sebagai duo pendukung yang justru lebih mencuri perhatian ketimbang sang tokoh utama.

Penasaran detail kisahnya? Sini merapat!

Sekilas tentang Film Shadow Force

Sekilas, premisnya menjanjikan. Lebih jelasnya begini: Dua mantan agen elit yang jatuh cinta, memutuskan kabur dari dunia hitam untuk membangun keluarga kecil yang normal, sebelum masa lalu mengejar mereka kembali. 

Nah, jika Sobat Yoursay merasa ini terdengar familier, ya, itu memang karena formulanya sudah dipakai dalam banyak film sebelumnya. Dari Film Mr. & Mrs. Smith, Film Red, sampai Film The Family Man. Bedanya, Film Shadow Force terasa seperti potongan dari semua itu yang dilempar acak tanpa ikatan yang kuat. Sangat disayangkan!

Di sini Kerry Washington berperan sebagai Kyrah, istri sekaligus rekan lama Isaac (diperankan Omar Sy). 

Isaac kini hidup tenang sebagai ayah tunggal bagi putranya, Ky (Jahleel Kamara), tapi tentu saja ketenangan itu nggak bertahan lama. 

Ketika masa lalu menyerang, mereka harus bersatu kembali, melindungi anak mereka sambil bertempur melawan mantan rekan yang kini menjadi musuh.

Impresi Selepas Nonton Film Shadow Force 

Kalau bicara soal awal film ini, jujur aku sempat berharap tinggi. Opening-nya dibuka dengan quote dramatis: "Our most basic instinct is not for survival but for family." Klise? Iya. 

Eh, tapi untuk film action soal keluarga, ini masih bisa dimaklumi. Lalu, kita dikenalkan pada Isaac dan putranya dalam suasana hangat sehari-hari. Isaac tampak sebagai ayah yang lembut, mengajari anaknya bahasa Prancis sambil mendengarkan Lionel Richie lewat alat bantu dengarnya. 

Namun, begitu adegan perampokan bank muncul, barulah kita melihat sisi lamanya: Pembunuh handal yang mampu melumpuhkan lawan dengan singkat. 

Saat cerita bergerak, film ini mulai kesulitan menjaga fokusnya. Plotnya meloncat dari satu lokasi ke lokasi lain. Tokoh-tokoh bermunculan sekilas tanpa pengenalan yang kuat, bahkan ketika mereka seharusnya jadi musuh utama yang menegangkan. Aku sampai merasa seperti main game action yang skip semua cutscene penting.

Yang paling terasa terkait chemistry para pemain utamanya. Omar Sy, yang biasanya karismatik, memang masih menunjukkan pesonanya di beberapa adegan aksi. Dia punya fisik yang meyakinkan sebagai action star, dan senyum ramah yang seharusnya bisa mencairkan momen-momen emosional.

Sayangnya, hubungannya dengan Kerry Washington di sini terasa dingin. Washington, yang juga produser film ini, malah terlalu sering terjebak dalam pidato melankolis tentang keluarga, membuat karakternya kehilangan taji sebagai sosok "super mom" yang badass.

Ky, si anak kecil, dimaksudkan jadi pusat emosi cerita. Sayangnya, alih-alih menambah kedalaman cerita, kehadirannya justru terasa seperti alat tempel agar film ini tetap bisa bicara soal "keluarga" di tengah semua kekacauan. Bahkan ada satu adegan di mana anak ini ditaruh di bagasi mobil super yang terguling berkali-kali, dan ajaibnya, tetap baik-baik saja. Alih-alih menegangkan, ini malah bikin aku geleng-geleng kepala.

Bagian action yang harusnya jadi penyelamat pun nggak banyak membantu. Memang ada satu set-piece yang lumayan seru—kejar-kejaran mobil lengkap dengan motor dan truk semi yang dimodifikasi. Kukira scene ini bakal bikin filmnya naik level, rupanya itu terlalu singkat.

Yang bikin aku sedikit terhibur justru karakter Auntie dan Unc, yang dimainkan oleh Da'Vine Joy Randolph dan Method Man. Dinamika mereka terasa lebih hidup, lebih lepas, dan jelas lebih menyenangkan dibandingkan duo utamanya. Saking segarnya, aku bahkan sempat mikir, kok kayaknya lebih menarik nonton spin-off soal mereka berdua saja ya?

Produksi Film Shadow Force memang terasa seperti produk action murah ala EuropaCorp di masa-masa redupnya, bukan blockbuster kelas atas yang seharusnya bisa jadi franchise baru.

Kalau saja Film Shadow Force mau lebih fokus, lebih berani dalam eksplorasi hubungan keluarga yang jadi jualannya, dan lebih tajam dalam koreografi aksi, mungkin aku akan lebih mudah memaafkan kekurangannya.

Skor: 1/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak