Ada kalanya sebuah novel tidak hanya menghibur, tetapi juga membuat kita merenung lama setelah menutup halamannya. Begitulah kesan saya ketika membaca Gitasmara Semesta: Dilarang Bercanda dengan Kenangan 2 karya Akmal Nasery Basral. Novel ini bukan sekadar kisah romansa yang penuh gejolak, melainkan juga perjalanan batin seorang manusia dalam menghadapi cinta, luka, dan ujian iman.
Tokoh utamanya, Johansyah Ibrahim atau Jo—bukanlah sosok pahlawan yang sempurna. Ia lelaki yang sudah dua kali gagal dalam pernikahan. Bayangan masa lalu membayanginya, dan kabar tentang pernikahan seseorang yang pernah dekat dengannya membuat hatinya kembali koyak. Namun di balik luka itu, pembaca diajak menyaksikan bagaimana Jo mencoba menemukan makna cinta yang sejati, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Sang Pencipta.
Cinta yang Tak Lepas dari Iman
Sejak awal, Akmal menegaskan bahwa cinta dalam buku novel ini bukan sekadar soal “aku dan kamu.” Ada dimensi spiritual yang dalam. Jo belajar bahwa cinta sejati harus berlapis iman. Ia bertanya pada dirinya sendiri: apakah mencintai seseorang berarti mendekatkan diri pada Allah, atau justru menjauhkan? Pertanyaan ini membuat cerita terasa begitu relevan, terutama bagi pembaca yang mungkin pernah merasakan cinta yang sekaligus menguatkan dan melemahkan diri.
Pernikahan: Samudera Ujian, Bukan Akhir Bahagia
Banyak novel romantis menggambarkan pernikahan sebagai titik akhir perjalanan cinta. Begitu akad terucap, kisah selesai dengan kalimat “bahagia selamanya.” Namun Akmal justru menghadirkan pernikahan sebagai samudera yang luas dan penuh badai. Bahagia itu ada, tetapi tidak pernah tanpa ujian.
Jo, dengan segala pengalaman pahitnya, menjadi cermin bahwa pernikahan adalah ladang perjuangan. Kita bisa mencintai seseorang dengan sepenuh hati, tetapi tetap harus siap menghadapi kenyataan bahwa hidup rumah tangga bukan dongeng yang selalu manis.
Latar Sosial yang Membumi
Satu hal lain yang membuat novel ini unik adalah bagaimana Akmal menghadirkan latar peristiwa nyata. Pembaca diajak menyusuri masa krisis moneter 1997, hiruk-pikuk Reformasi 1998, hingga luka mendalam tsunami Aceh 2004. Meskipun peristiwa ini lebih banyak muncul di novel pertama, bayangannya tetap terasa di sekuel ini. Hasilnya, kisah cinta Jo tidak terasa melayang-layang di awang-awang, melainkan membumi dan berdiri di atas sejarah bangsa.
Dialog yang Mengajak Merenung
Banyak dialog dalam novel ini yang membuat saya berhenti sejenak, menutup halaman, dan berpikir. Kalimat-kalimat sederhana ternyata bisa terasa begitu menohok. Ada pertanyaan tentang kesetiaan, tentang bagaimana menerima luka, juga tentang sejauh mana manusia bisa bertahan di tengah cobaan. Inilah kekuatan Akmal: menyampaikan filosofi hidup melalui percakapan sehari-hari, tanpa terasa menggurui.
Lelaki yang Rapuh tapi Mau Bertumbuh
Jarang ada novel yang menyoroti sisi rapuh seorang laki-laki. Jo tidak digambarkan sebagai sosok gagah yang selalu kuat. Ia penuh keraguan, patah hati, dan ketakutan. Tetapi justru di situlah letak keindahan kisahnya. Jo menunjukkan bahwa seorang lelaki pun boleh rapuh, boleh menangis, dan boleh jatuh berkali-kali—asal ia berani bangkit kembali.
Proses jatuh bangun Jo inilah yang membuat novel ini terasa begitu manusiawi. Kita bisa saja tidak mengalami hal yang sama dengannya, tetapi kita bisa merasakan rasa sakit, kebingungan, dan harapan yang ia bawa.
Perpaduan Sastra dan Religiusitas
Akmal Nasery Basral memang punya ciri khas: bahasa yang indah, dialog yang mengalir, dan sentuhan religius yang halus. Ia tidak pernah menggurui pembacanya, tetapi membiarkan pengalaman tokoh-tokohnya menjadi pelajaran hidup. Membaca novel ini terasa seperti mendengar kisah seorang teman dekat, yang dengan jujur membagikan pahit-manis hidupnya agar kita belajar tanpa harus tersandung di jalan yang sama.
Penutup: Sebuah Cermin untuk Pembaca
Gitasmara Semesta: Dilarang Bercanda dengan Kenangan 2 bukanlah novel romantis biasa. Ia adalah cermin yang memantulkan sisi paling rapuh dari diri kita: rasa takut kehilangan, rasa sakit akibat kegagalan, sekaligus harapan untuk bangkit kembali.
Novel ini mengajarkan bahwa cinta sejati tidak hanya soal menemukan pasangan yang tepat, tetapi juga soal menemukan kembali diri sendiri dan hubungan kita dengan Tuhan. Dengan latar yang realistis, bahasa yang reflektif, dan tokoh utama yang penuh luka namun terus bertumbuh, Akmal menghadirkan karya yang menyentuh sekaligus mencerahkan.
Bagi siapa pun yang pernah jatuh cinta, pernah gagal, atau sedang mencari makna cinta yang lebih dalam, novel ini layak untuk dibaca. Karena di balik judulnya yang unik, tersimpan pesan sederhana: cinta dan kenangan tidak pernah bisa dipisahkan dari iman dan perjalanan hidup kita.