Film Rest Area yang Terlalu Ambisius dan Lupa Caranya Memikat Penonton

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Film Rest Area yang Terlalu Ambisius dan Lupa Caranya Memikat Penonton
Poster Film Rest Area (IMDb)

Ada kalanya, film horor nggak perlu banyak bicara untuk menakuti penonton. Cukup satu ide tajam, satu atmosfer yang pekat, dan satu arah yang tegas, maka ketakutan akan tumbuh dengan sendirinya. 

Sayangnya, Film Rest Area yang diproduksi Mahakarya Pictures dan disutradarai Aditya Testarossa, kayak lupa pada hukum simpel itu. Film ini mengusung banyak ide, malah terlalu banyak, sampai semuanya saling tabrak, seperti mobil yang melaju ugal-ugalan di jalan tol malam hari. Duh!

Bagaimana dengan Ceritanya?

Cast Film Rest Area (Instagram/mahakaryapictures)
Cast Film Rest Area (Instagram/mahakaryapictures)

Film berdurasi ±79 menit ini berawal dengan premis yang menjanjikan sih. Lima remaja kaya raya nggak sengaja nabrak seseorang di jalan, lalu terjebak di rest area misterius. 

Kelima remaja itu terdiri dari Zizi (Lutesha), Theo (Chicco Kurniawan), Keanu (Ajil Ditto), Ale (Julian Jacob) dan Mia (Lania Fira). Bersama, mereka harus menghadapi sesuatu yang nggak bisa dijelaskan dengan logika.

Yup, teror datang bertubi-tubi. Bukan hanya dari sosok Hantu Kresek yang menyeramkan, tapi juga dari dosa. Makin lama, semakin jelas rest area itu bukan sebatas tempat berhenti, melainkan ruang yang menuntut pertanggungjawaban atas dosa dan rahasia masa lalu mereka sendiri.

Satu per satu mulai menyadari, yang mereka hadapi mungkin bukan hanya makhluk halus, tapi juga rasa bersalah mereka sendiri.

Sayangnya Film Rest Area Jauh dari Kata Kece

Scene Film Rest Area (Instagram/ mahakaryapictures)
Scene Film Rest Area (Instagram/ mahakaryapictures)

Gimana ya? ‘Rest Area’ tampak ingin jadi film slasher yang nggak hanya mengandalkan darah dan jeritan, tapi juga menyelipkan kritik sosial tentang privilese, keserakahan, dan dosa kelas atas terhadap kaum kecil. Sayangnya, ambisi itu nggak pernah jadi bentuk yang utuh. 

Aditya Testarossa, tampak menumpuk banyak gagasan dalam waktu yang terlalu singkat. Dia memasukkan elemen horor, satir, sosial commentary, dan bahkan sedikit time-loop thriller, tapi lupa setiap ide butuh ruang bernapas. Alhasil, alih-alih menegangkan, film ini terasa kayak labirin narasi yang bikin penonton nggak tahu pintu mana yang harus dibuka alias merasa terjebak dalam berbagai ambiguitas dan kebingungan. 

Secara struktural, naskah Film Rest Area adalah akar dari segala kekacauan. Dialognya dangkal, motivasi karakter kabur, dan alur ceritanya seperti kehilangan peta. 

Para bintangnya, mereka semua punya chemistry yang lumayan baik di layar, sesekali malah terasa seperti sedang nonton drama remaja dengan bumbu horor komedi. Namun chemistry itu nggak didukung naskah yang kuat. Setiap karakter berteriak, menangis, atau berlari, tapi diriku nggak pernah tahu mengapa mereka melakukan itu. Rest Area akhirnya jatuh pada jebakan klasik film debutan, yakni semangatnya tinggi, tapi arah penceritaannya kabur.

Di satu sisi, film ini ingin membicarakan mafia tanah dan korupsi kelas menengah atas. Di sisi lain, mencoba menggali tema moralitas dan dosa masa lalu. Lalu di sisi lain lagi, tiba-tiba berubah menjadi film tentang lingkaran waktu (mengulang kejadian yang sama tanpa penjelasan logis). Setiap gagasan menarik berdiri sendiri, tapi nggak saling menyatu. Ibaratnya, sutradara takut kehilangan satu pun idenya, sehingga semua dipaksa masuk, meskipun ruangnya sempit terbatas durasi dan editing. 

Film ini ingin terlihat pintar dengan berkata banyak hal dalam sekali napas. Padahal, dalam seni, semua hal nggak harus dijejalkan. Aditya Testarossa tampak begitu ingin membuktikan dirinya sebagai sutradara dengan visi, tapi lupa visi yang baik bukan soal banyaknya ide. 

Film ini mungkin gagal sebagai horor yang menegangkan, tapi berhasil sebagai catatan eksperimental, terkait bagaimana ide besar bisa jadi bumerang ketika nggak ada disiplin naratif. 

Bila Sobat Yoursay penasaran, tontonlah. Jadikan ini sebagai pertimbangan yang nggak harus dijadikan pakem buat nggak nonton. Buktikan saja sendiri, dan mungkin saja kita bakal berbeda pendapat. Ups. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak