Novel Berpayung Tuhan karya Jaquenza Eden bukan sekadar kisah fiksi biasa. Buku ini menjadi salah satu bacaan yang banyak dibicarakan karena berhasil menyentuh sisi terdalam manusia: tentang rasa lelah, putus asa, dan perjuangan untuk tetap bertahan hidup. Tak heran jika novel ini sudah dicetak berkali-kali, banyak pembaca merasa relate, seolah kisah yang ditulis di dalamnya adalah cerminan dari kehidupan mereka sendiri.
Ceritanya berpusat pada Khalil Syailendra, seorang penulis muda berusia 25 tahun yang memilih mengakhiri hidupnya di tengah rasa kecewa dan kegagalan. Ia merasa tak lagi berarti bagi siapa pun, bahkan untuk dirinya sendiri. Namun, setelah kematiannya, Khalil justru dihadapkan pada tayangan ulang seluruh hidupnya di sebuah ruangan putih yang sunyi. Di sanalah ia menyaksikan setiap detik kehidupannya, dari kecil hingga dewasa, semua momen yang dulu ia anggap remeh kini memutar kembali seperti potongan film.
Melalui layar besar itu, Khalil menyadari satu hal yang paling menyakitkan: orang tuanya. Dua sosok yang selalu mencintainya tanpa syarat, kini harus menanggung luka yang tak terperikan karena kehilangan anaknya. Dari situ, cerita berkembang menjadi refleksi mendalam tentang betapa berharganya hidup, betapa dalamnya kasih orang tua, dan betapa besar penyesalan yang datang ketika kita baru sadar setelah semuanya terlambat.
Jaquenza Eden menulis dengan gaya yang lembut, penuh perasaan, namun juga menohok. Setiap kalimat dalam Berpayung Tuhan seperti mengajak pembaca menatap cermin dan bertanya dalam hati: “Pernahkah aku menyakiti mereka yang mencintaiku tanpa sadar?” Ceritanya sederhana, tapi maknanya dalam, membuat kita berpikir ulang tentang keputusan, rasa lelah, dan arti dari bertahan.
Novel ini juga menjadi pengingat bagi siapa pun yang tengah berada di masa-masa sulit. Bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus, dan kegagalan bukanlah tanda akhir dari segalanya. Justru di balik kesulitan itu, ada kasih dan doa yang diam-diam menyelimuti kita. Ada keluarga yang berharap kita tetap pulang.
Yang membuat Berpayung Tuhan begitu berkesan adalah kedekatannya dengan realita. Banyak pembaca merasakan bagian dari diri mereka dalam kisah Khalil, entah itu rasa gagal, tekanan hidup, atau hubungan dengan orang tua yang kadang terasa jauh tapi sebenarnya begitu dalam. Novel ini berhasil menggambarkan emosi manusia dengan jujur, tanpa dibuat-buat.
Buku ini juga memperlihatkan bahwa Tuhan tidak pernah benar-benar meninggalkan hamba-Nya. Kadang, justru melalui kesedihan dan kehilangan, kita diajak untuk kembali mendekat. Berpayung Tuhan bukan hanya cerita tentang kematian, tapi tentang kehidupan yang seharusnya disyukuri, tentang betapa berharganya kesempatan kedua, dan bagaimana cinta bisa menjadi alasan untuk tetap hidup.
Menurut saya, Berpayung Tuhan adalah salah satu novel yang paling menyentuh dan penuh makna di antara karya-karya fiksi modern. Ceritanya membuat kita berhenti sejenak, menatap langit, dan berkata: “Aku masih di sini, dan aku ingin terus hidup.” Novel ini bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dirasakan, karena setiap halamannya seperti pelukan hangat dari semesta yang berkata, jangan menyerah, kamu masih punya harapan.