Memiliki wajah berparas tampan dan karismatik tentu kebanggaan kebanyakan orang. Siapa sih yang gak mau seperti itu? Wajah tampan bisa saja dilirik oleh wanita-wanita sang pujaan hati. Lalu bagaimana jadinya kalau punya wajah comel tapi bukan anak-anak lagi. Memang sih ada perasaan greget ketika melihat orang yang comel sekali, terlebih pada anak-anak. Namun bagaimana nasib kalau udah dewasa tapi masih memiliki wajah comel?
Comel di sini bisa diartikan memiliki wajah yang lucu, terlebih mirip wajah anak-anak yang kadang gemas kita melihatnya. Mungkin saja ada orang yang pengen punya wajah comel, tampil terlihat muda walau umur sudah tua. Tapi percayalah, memiliki wajah seperti anak-anak dengan umur yang udah tua ternyata itu gak enak juga lho.
Bukannya sombong atau gak mensyukuri nikmat Tuhan Sang Pencipta, tapi saya salah satu orang yang sering dibilangi teman-teman punya wajah comel, punya wajah seperti anak-anak. Padahal dari segi umur, saya udah tua dengan hitungan angka 25 tahun.
Saya sih kadang gak terlalu merespon perkataan itu dan saya juga menganggapnya sekedar lelucon saja, lagian pula poster tubuh saya yang kecil sehingga makin mendukung kalau saya itu tampil kayak anak SMP bahkan SD. Apalagi kalau saya gabung sama anak-anak SMP, maka sulit bagi orang lain menilai kalau saya bukan anak SMP juga.
Teringat waktu wisuda di kampus dulu, bahkan ada yang tuding saya terlalu kekanak-kanakan ikut wisuda.
“Kok ada anak sekolah wisuda,” ucap salah satu pendamping wisudawan dengan nada sedikit bercanda.
Ya, bagiku gak jadi soal seperti demikian. Memang faktanya seperti itu dan saya harus mengakuinya. Artinya dengan wajah dan poster tubuh saya yang kecil, memang gak salah di mata penilaian orang-orang kalau saya seperti masih anak-anak. Bukan itu saja, waktu masih sering turun demonstrasi, saya pun selalu dibercandai anak sekolah yang turun demo.
Pasca wisuda pun saya juga begitu, terlibat sebagai penyelenggara pemilu yang kebanyakan orang tua membuat saya agak canggung dan kadang gak percaya diri. Bahkan gak sedikit yang heran, kenapa saya bisa lolos sebagai penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan dengan anggapan bahwa saya itu masih anak-anak.
Walau gak ada rumus dan aturan tertentu kalau yang punya wajah atau poster tubuh seperti anak-anak gak boleh ikut sebagai penyelenggara pemilu, tetapi tetap saja saya merasa asing berada di tengah-tengah para orang tua sebagai sesama penyelenggara.
Meskipun saya selalu berusaha untuk bisa beradaptasi bersama para orang tua, tetapi tetap saja timbul dalam diri saya gak percaya diri. Apalagi kalau memberikan intervensi atau semacam arahan kepada mereka, selalu saja muncul perasaan bahwa saya terlihat seperti anak-anak sedangkan yang lain nampak seperti orang tua.
Padahal kalau dari segi umur saya bukan anak-anak lagi, tetapi kalau dari segi wajah dan poster tubuh, saya nampak seperti anak-anak. Artinya posisi seperti ini ternyata gak selamanya nyaman bagi diri sendiri, punya wajah comel itu gak selalu nyaman kita menyandangnya, termasuk itulah yang saya rasakan.
Makanya dengan kondisi seperti itu, saya sangat jarang memendekkan rambut saya, apalagi cukur rambut yang pendek sehingga tampak seperti anak SMP, saya justru gak percaya diri kalau menata rambut saya dengan gaya pendek dan rapi. Apabila hal demikian saya lakukan, di situ makin terlihat kalau saya itu makin mirip dengan anak-anak SMP, dan saya kurang pede kalau seperti itu.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Estafet Jokowi ke Prabowo, Bisakah Menciptakan Rekrutmen Kerja yang Adil?
-
6 Alasan Kenapa Banyak Orang Lebih Memilih WhatsApp Dibanding yang Lain
-
6 Pengaturan di Windows yang Dapat Memaksimalkan Masa Pakai Baterai Laptop
-
7 Fitur Keamanan Android yang Bisa Lindungi Data Pribadi Kamu
Artikel Terkait
-
Dari Bilik Suara, Anak Muda Tentukan Nasib Daerah di Pilkada 2024
-
Perempuan dan Anak-anak di Gaza Kelaparan dan Terusir, Iran Minta Dunia Bela Palestina
-
Israel Kembali Gempur Gaza, 66 Tewas dalam Semalam Termasuk Anak-anak yang Sedang Tidur
-
PBB: 700 Anak Palestina Diculik Setiap Tahun, Iran Tuntut Akuntabilitas Global
-
Tragedi Gaza Berulang di Lebanon: Ratusan Anak Tewas, Dunia Diam
Kolom
-
Tes Open Book: Senjata Latih Critical Thinking atau Malah Bikin Malas?
-
Gadget di Tangan, Keluarga di Angan: Paradoks Kemajuan Teknologi
-
Tradisi Rewang: Tumbuhkan Sikap Gotong Royong di Era Gempuran Egosentris
-
Tersesat di Dunia Maya: Literasi Digital yang Masih Jadi PR Besar
-
Tolak PPN 12% Viral di X, Apakah Seruan Praktik Frugal Living Efektif?
Terkini
-
Melihat Peran Ibu dari Sisi Lain Melalui Buku 'Sudahkah Mengenal Ibu?'
-
Layak Dinanti, Intip Trailer dan Jadwal Rilis One Hundred Years of Solitude
-
Rafael Struick Absen di Babak Penyisihan Dianggap Keuntungan bagi Vietnam
-
Review Film Retribution, Ketegangan Teror Bom di Jok Mobil
-
Media Vietnam Anggap Remeh Ucapan Asnawi Mangkualam Jelang Piala AFF 2024