Belakangan ini, banyak sekali perdebatan di kalangan masyarakat mengenai mental anak zaman dulu dan mental anak zaman sekarang. Anak zaman dulu, yang lahir di era '90an ke bawah merasa mereka tangguh menghadapi persoalan hidup yang sedemikian rumit. Tidak mudah putus asa dan tidak mudah depresi yang berakibat bunuh diri.
Menurut kebanyakan orang, anak sekarang terlalu manja sehingga mental mereka sangat lemah. Anak zaman sekarang dinilai terlalu berlebihan menghadapi masalah sehingga mudah stress dan bahkan bunuh diri.
BACA JUGA: Suara Hati Calon Guru, Kisah Miris Para Guru Indonesia Bikin Takut Jadi Guru
Banyaknya fenomena bunuh diri terlebih di kalangan muda seakan memperkuat tuduhan yang beredar di kalangan masyarakat. Orang-orang yang berkeluh kesah di media sosial sering menjadi bahan perbandingan hidup masing-masing.
Memang tidak bisa dipungkiri, generasi sekarang hidup di era serba instan. Kemudahan yang diberikan oleh teknologi membuat mereka tidak terpancing untuk melakukan usaha yang lebih keras. Kemudahan mendapatkan keinginan membuat mereka menilai dunia akan memberi kemudahan yang sama pada mereka.
Dari mana semua ini bermula? Tentu dari lingkungan terdekat. Orang tua sibuk bekerja dan masih harus memasak dan membereskan rumah. Mengurus ini dan itu sehingga tidak punya waktu untuk bermain dan mengajari anak. Akhirnya anak satu tahun pun diberi ponsel agar tidak mengganggu pekerjaan orang tuanya. Akhirnya anak belajar sendiri dan memanfaatkan kemudahan tersebut tanpa bisa dikendalikan.
BACA JUGA: Ada Hikmah di Balik Duka Seorang Anak yang Ditinggalkan Ayah
Satu hal yang tidak dipahami banyak orang tua, hal kecil seperti ini akhirnya merusak kehidupan anak di masa mendatang. Kemudahan yang selama ini mereka dapatkan ternyata tidak semudah itu mereka terima di luar sana. Dunia tidak memberi kemudahan. Hal ini yang akhirnya membuat mereka merasa kesulitan dan mudah stres. Mereka tidak terbiasa menghadapi kesulitan seperti itu.
Jadi, apakah didikan orang tua zaman dulu yang dikaitkan dengan kekerasan lebih baik? Tidak juga. Kekerasan bukan cara yang baik mengajari anak. Namun, orang tua harus tegas dalam memberi arahan dan membuat batasan serta memberi ruang bagi anak untuk mengupayakan sendiri sesuatu yang dia inginkan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Tuai Hujatan Karena Menang MCI, Pantaskah Belinda Diperlakukan Demikian?
-
Ulasan Novel Mata dan Rahasia Pulau Gapi, Kental dengan Nilai Sejarah dan Pengabdian
-
Ulasan Novel Rooftop Buddies, Pengidap Kanker yang Nyaris Bunuh Diri
-
Berkaca pada Kasus Bunuh Diri di Pekalongan, Dampak Buruk Gadget bagi Anak
-
Ulasan Novel Mata di Tanah Melus, Petualangan Ekstrem di Negeri Timur
Artikel Terkait
-
Siapa Ayah Rezky Aditya? Wajib Nafkahi Anak di Luar Nikahnya Sebesar Rp5 Juta per Bulan
-
Stres Saat Hamil Picu Anak Lahir Epilepsi? Ini Faktanya
-
Ulasan Buku Gaga dan Ruri: Ajari Anak agar Tidak Mengambil Milik Orang Lain
-
Netizen Unggah Foto Ivan Sugianto dengan Pamen TNI dan Polri, Ternyata Begini Hubungannya
-
Polri Ungkap Jaringan Kasus Pornografi Anak, Kemen PPPA Ingatkan Korban Harus Dapat Perlindungan
Kolom
-
Melawan Sunyi, Membangun Diri: Inklusivitas Tuna Rungu dan Wicara ADECO DIY
-
Ujian Nasional dan Tantangan Integritas Pendidikan Indonesia
-
Menggali Makna Mahasiswa 'Abadi': Antara Idealisme dan Keterlambatan Lulus
-
Nggak Perlu Inget Umur, Melakukan Hobi di Umur 30 Itu Nggak Dosa Kok!
-
Kuliah atau Kerja? Menyiasati Hidup Mahasiswa yang Multitasking
Terkini
-
Sinopsis Film The Sabarmati Report, Kisah Dua Jurnalis Mengungkap Kebenaran
-
Melihat Jadwal Tur Linkin Park, Jakarta Satu-satunya Kota di Asia Tenggara
-
Ulasan Novel Seribu Wajah Ayah: Kisah Perjuangan dan Pengorbanan Ayah
-
Wajib Beli! Ini 3 Rekomendasi Cushion Lokal dengan Banyak Pilihan Shade
-
3 Rekomendasi Drama China yang Dibintangi Cheng Yi, Terbaru Ada Deep Lurk