"How to Tell When We Will Die" karya Johanna Hedva menghadirkan kumpulan esai yang tajam dan provokatif mengenai topik penyakit, perawatan, serta ketidakadilan sistem kapitalisme.
Buku ini merupakan kelanjutan dari esai terkenal mereka, "Sick Woman Theory", yang mengeksplorasi penyakit bukan hanya sebagai pengalaman biologis, tetapi juga sosial.
Hedva menunjukkan bagaimana kapitalisme cenderung mengukur nilai seseorang berdasarkan produktivitas tubuhnya, sehingga mereka yang sakit sering dianggap beban atau tidak berguna.
Pengalaman pribadi Hedva, yang hidup dengan kondisi kronis dan berjuang di tengah birokrasi kesehatan Amerika yang berbelit, menjadi dasar utama dari banyak esai dalam buku ini. Mereka membawa pembaca melalui eksplorasi mendalam tentang bagaimana sistem yang ada saat ini sering kali gagal memahami dan merangkul keberagaman kondisi kesehatan manusia.
Hedva menyajikan konsep seperti The Psychotic Woman, The Freak, dan The Hag in Charge, yang mencerminkan stereotip sosial terhadap perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan norma kesehatan dan produktivitas yang berlaku.
Buku ini tidak hanya berisi teori yang kompleks, tetapi juga refleksi pribadi Hedva mengenai seni, budaya pop, dan tema-tema yang jarang dibahas, seperti kink, mistisisme, serta pengalaman spiritual.
Tulisan Hedva mengingatkan pada gaya penulisan Anne Boyer dalam The Undying dan Leslie Jamison dalam The Empathy Exams, dengan tambahan humor cerdas seperti karya Samantha Irby. Mereka berhasil menggabungkan kritik tajam dengan gaya yang santai, menjadikan buku ini bacaan yang mendalam namun tetap mudah diikuti.
Hedva juga menyoroti pentingnya perawatan sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang eksploitatif. Mereka menegaskan bahwa merawat diri sendiri dan orang lain adalah tindakan politis yang berharga, terutama dalam konteks di mana masyarakat lebih memprioritaskan produktivitas daripada kesejahteraan.
Hedva mengajak kita melihat bahwa sakit bukan hanya sesuatu yang harus disembuhkan atau dihindari, tetapi juga bagian alami dari hidup yang perlu diterima dan dihargai.
Ulasan saya, buku ini menawarkan perspektif baru yang menggugah pemikiran tentang kesehatan, perawatan, dan kehidupan itu sendiri.
Menurut saya, "How to Tell When We Will Die" adalah karya yang patut dibaca oleh siapa saja yang tertarik memahami kompleksitas penyakit dan pentingnya perawatan dalam konteks sosial dan politis. Hedva mengajak kita untuk melihat penyakit bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai elemen penting dari pengalaman manusia yang harus dirangkul dengan rasa empati dan solidaritas.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ulasan Novel 3726 MDPL, Kisah Cinta di Balik Gunung Rinjani
-
Cinta Tak Terduga di Musim Natal dalam Novel 'If This Was a Movie'
-
Proses Penyembuhan Luka Batin dalam Novel "Di Seberang Rumah"
-
Belajar Cara Mengikhlaskan dalam Novel 'At Least I Met You, Dr. Jiru'
-
Kisah Keluarga yang Penuh Luka dan Rahasia dalam Novel "Kisah untuk Alana"
Artikel Terkait
-
Belajar Menghargai Hidup Sendiri Bersama Buku Rumput Tetangga Memang Hijau
-
Buku Bimalara Cinta: Pedihnya Kehilangan dan Harus Jadi Pengantin Pengganti
-
Ulasan Buku Knowing Your Habit: Transformasi Diri Melalui Kebiasaan
-
Obat Diabetes Tipe 2 Turunkan Risiko Serangan Jantung dan Stroke? Ini Faktanya
-
6 Penyakit yang Sering Muncul saat Musim Hujan, Salah Satunya Influenza!
Ulasan
-
Ulasan Film Forbidden Dream, Kisah Sejarah Dua Pemimpi Hebat Era Joseon
-
Ulasan Buku Seni Mewujudkan Mimpi Jadi Kenyataan Karya James Allen
-
From Pesantren with Laugh: Tawa dan Persahabatan dalam Kehidupan Pesantren
-
Buku Beauty and The Bad Boy: Terus Didesak Nikah dan Dipepet Brondong Tajir
-
Ulasan Novel 'Rantau 1 Muara', Perjuangan dalam Menemukan Tujuan Hidup
Terkini
-
Bakal Tinggalkan Ducati, Jorge Martin Tak Pernah Berpikir untuk Kembali
-
Fashionable Setiap Hari dengan 4 Padu Padan Daily OOTD ala Lee Yoo-mi
-
3 Rekomendasi Cleanser Mengandung Amino Acid untuk Menjaga Kelembapan Kulit
-
4 Rekomendasi Film tentang Ibu, Dijamin Bikin Terenyuh
-
3 Rekomendasi Tempat Melukat di Bali untuk Ketenangan Batin