CERPEN: Sebuah Panduan Berburu Pelangi

Bimo Aria Fundrika | Ryan Farizzal
CERPEN: Sebuah Panduan Berburu Pelangi
Ilustrasi Pelangi. (Pixabay)

Di kota kecil bernama Lembah Abu, hujan turun setiap hari tanpa jeda. Langit selalu kelabu, dan pelangi tak pernah muncul sejak tiga puluh tahun lalu.

Orang-orang sudah lupa bagaimana rasanya melihat warna-warna melengkung di angkasa. Mereka bilang pelangi itu cuma dongeng tua, tak lebih nyata daripada hantu di gudang tua pinggir kota.

Dongeng yang dulu diceritakan orang-orang tua, sebelum hujan abadi datang dan membuat semua hal cerah terasa memalukan untuk diingat.

Tapi tidak bagi Naya.

Naya berusia dua puluh tiga tahun. Ia bekerja sebagai tukang reparasi radio kuno di bengkel kecil milik ayahnya yang sudah meninggal.

Bengkel itu sepi pelanggan, seperti hidupnya akhir-akhir ini. Hari-hari yang basah, sunyi, dan diulang tanpa banyak harapan.

Kadang Naya merasa hujan bukan sekadar cuaca, tapi cara kota ini mengajarkan warganya untuk berhenti berharap.

Setiap malam, setelah toko tutup, Naya membuka laci rahasia di bawah meja kerja dan mengeluarkan buku catatan usang berjudul “Panduan Berburu Pelangi”, ditulis tangan oleh kakeknya.

Di dalamnya ada peta aneh, rumus cuaca yang tak masuk akal, dan satu kalimat yang selalu ia baca keras-keras, seolah takut kata-kata itu ikut larut oleh hujan:

Pelangi bukan hadiah langit.
Ia adalah janji yang harus kau jemput sendiri.

Naya percaya pelangi itu bersembunyi. Bukan karena awan, tapi karena orang-orang sudah terlalu lama berhenti mencarinya, dan mungkin terlalu takut membayar harganya.

Suatu malam, saat hujan deras menggedor atap seng bengkel, radio tua di sudut ruangan tiba-tiba menyala sendiri. Lampu indikatornya berkedip lemah. Frekuensi bergoyang, lalu suara statis perlahan membentuk kata-kata:

“Koordinat 7 derajat utara, 112 derajat timur.
Air terjun terbalik.
Saat bulan purnama terbelah dua.”

Naya membeku. Radio itu mati total sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Ia masih ingat hari terakhir radio itu menyala, suara ayahnya, tawa kecil, lalu sunyi.

Tangannya gemetar saat mencatat koordinat di buku kakeknya. Peta menunjukkan lokasi di tengah hutan larangan di belakang Gunung Tak Bernama, tempat yang, menurut cerita, menelan pendaki dan mengembalikan mereka tanpa arah, tanpa ingatan, atau tak kembali sama sekali.

Naya tidak memberi tahu siapa pun.

Ia hanya mengemas ransel kecil berisi senter, pisau lipat, buku catatan kakek, dan radio tua itu. Radio yang kini ia isi baterai baru, meski tak yakin radio itu ingin hidup lagi.

Perjalanan dimulai tengah malam. Hujan masih turun, tapi Naya sudah lama lupa bagaimana rasanya berjalan dalam keadaan kering. Di pintu masuk hutan larangan, papan kayu tua bertuliskan:

“Jangan masuk jika kau takut lupa jalan pulang.”

Naya melangkah masuk.

Hutan itu gelap dan terasa sadar akan kehadirannya. Ranting-ranting menyentuh bahunya, seperti tangan yang ragu antara menahan atau melepas. Setelah berjam-jam berjalan, ia tiba di tebing tinggi.

Di bawahnya, ada air terjun.

Tapi airnya mengalir ke atas.

Dari sungai menuju langit kelabu, seperti tirai terbalik yang menghisap kabut dan suara. Air terjun terbalik.

Naya mengecek jam. Pukul 02.14. Bulan purnama muncul di celah awan, dan untuk sesaat tampak seperti terbelah dua oleh bayangan gunung.

Radio di ranselnya menyala lagi.

Kali ini suaranya jelas, nyaris berbisik di telinganya.
“Letakkan janji di ujung air.”

Janji apa?

Naya melangkah mendekat. Airnya dingin, tapi tak membasahi, seperti kabut yang memadat. Begitu ia masuk, dunia terbalik. Langit menjadi pijakan, dan hutan menggantung di atas kepalanya.

Di ujung air terjun itu, ada ruang kecil dari cahaya. Di tengahnya, mengambang sebuah kotak kaca transparan. Di dalamnya, tujuh helai benang berpendar. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu.

Pelangi yang belum lahir.

Di bawah kotak terukir tulisan:
“Ambil jika kau berani membayar harga.”

Naya tahu ini jebakan.

Ia juga tahu ini satu-satunya jawaban.

Saat jarinya menyentuh benang-benang itu, kenangan mengalir keluar darinya. Tawa ayah di bengkel, aroma kue ibu di pagi Minggu, cerita kakek tentang pelangi, hari-hari cerah yang kini terasa seperti milik orang lain.

Kenangan indah itu pergi satu per satu.

Benang-benang itu hangat dan hidup.

Naya menangis tanpa tahu alasannya.

Ia kembali ke dunia nyata saat fajar mendekat. Hujan masih turun. Benang-benang itu terlepas dari tangannya dan melayang ke langit, membentang, melengkung, dan untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun, pelangi muncul di Lembah Abu.

Orang-orang keluar rumah. Anak-anak bersorak. Orang tua menangis diam-diam.

Naya berdiri di pinggir hutan, menatap pelangi itu dengan mata kosong. Radio di ranselnya berbunyi klik pelan, lalu mati. Lampunya padam untuk terakhir kali.

Seorang anak kecil berlari memeluk kakinya.
“Terima kasih, kakak. Akhirnya aku bisa lihat pelangi sebelum aku lupa caranya bermimpi.”

Naya tersenyum, tanpa tahu kenapa.

Di Lembah Abu, hujan masih turun setiap hari.

Tapi kini, sesekali, pelangi muncul. Sebentar, rapuh, dan hanya bagi mereka yang masih berani menukar mimpi.

Dan Naya terus memperbaiki radio-radio kuno, menunggu suara yang tak akan pernah datang lagi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak