Menjelang Petang, Bocah itu Melambai dan Tertawa ke Area Persawahan Sepi

Bimo Aria Fundrika | Tika Maya Sari
Menjelang Petang, Bocah itu Melambai dan Tertawa ke Area Persawahan Sepi
ilustrasi senja di sawah (Unsplash/Sua Truong)

“Ah sebal kali aku sama Ko Liam. Barang toko banyak yang kosong, ternyata diambil!” celetuk Ikah.

Aku tertawa getir. “Dan kita yang dimarahi Cik Zhao Fei.”

Kami berdua kemudian tertawa bersama. Tawa ironi, menertawakan situasi dan kondisi. Lalu mengangkat topik lain yang nggak bikin depresi.

“Adekku kok belum jemput ya?”

Kusodorkan sebuah roti yang kubeli barusan. “Mungkin masih otw.”

Ikah mengangguk. Dia adalah rekan kerjaku di toko Cik Zhao Fei, dan karyawan shift pagi. Kami kerap bertukar shift sih sebetulnya, dan hari ini jadwalku shift malam.

“Kamu nggak diganggu dedemit lagi kan, Fris?” tanya Ikah.

“Aman. Kapan hari ada yang nangkring di sudut belakang. Tapi nggak masalah,” ucapku.

Selama bekerja di toko Cik Zhao Fei, aku kerap digoda lelembut, sedangkan Ikah jarang bahkan nggak pernah. Aneh.

Percakapan kami kompak berhenti saat ada seorang bapak yang membonceng anak balitanya berhenti di depan toko. Rupanya dia menepi dan hendak menyeberang di persimpangan jalan. Namun yang janggal adalah si anak balita perempuan itu tampak tersenyum sambil melambaikan tangannya.

Aku balas melambai sambil tersenyum.

“Fris, kamu ngapain, lho?” tanya Ikah.

“Ada anak kecil dadah-dadah, ya kusenyumin balik.”

“Coba kamu lihat matanya. Dia nggak lihat kesini lho.”

Kuperhatikan lagi, balita itu memang nggak melihat ke arahku maupun Ikah, atau bahkan ke arah toko. Melainkan ke sisi utara toko yang merupakan area persawahan.

Geografisnya, toko Cik Zhao Fei memang dikelilingi area persawahan luas. Dan di bagian utara terdapat jalan selebar 3 meteran untuk keluar masuk petani dan kendaraan pengangkut hasil panen.

“Mungkin ada orang di sawah. Dan anak kecil itu kenal,” kataku.

Ikah menggeleng. “Yang terakhir pulang tadi Pakdhe Sugiarto. Sekarang di sawah sudah nggak ada orang. Ini mau maghrib.”

Betul juga!

Langsung saja aku keluar toko dan mengecek sisi utara, dimana si balita masih melambai ke arah sana. Mana sekarang tertawa riang lagi!

“Fris! Kamu ini lho!” Ikah menyusulku.

“Nggak ada orang, Kah,” ucapku. “Nggak ada siapa-siapa.”

Begitu ada kesempatan jalan lengang, si bapak segera menyebrang jalan. Sedangkan si balita terus melambai riang, tertawa, seperti bertemu temannya. Matanya masih mengarah ke sisi utara toko yang kosong.

Namun yang cukup ganjil adalah, sorot matanya tampak aneh. Seperti ada perpaduan takut, gembira, kosong, dan kengerian di dalamnya.

Pekat malam mulai membaur, dan azan maghrib berkumandang. Rasa dingin mulai menyergap saat aku dan Ikah kembali ke dalam toko.

“Fris, kok anak kecil tadi matanya nyeremin ya?” celetuk Ikah.

Aku mengangguk setuju. “Iya.”

“Kamu nggak apa-apa shift malam, Fris?” tanya Ikah sewaktu adiknya sudah datang menjemput.

Aku tertawa. “Aman.”

Entahlah. Sejatinya aku nggak tahu apa atau siapa yang dilihat oleh anak balita petang itu.

Kalaupun memang manusia, atau makhluk hidup, harusnya berwujud. Toh aku berlari kencang dan mengamati arah mata balita tersebut kok.

Namun, nihil.

Nggak ada apapun. Nggak ada sosok atau wujud sama sekali. Seolah, itu hanya imajinasi anak balita yang polos. Tapi saat mengingat ekspresi bocah itu yang ganjil, aku sadar.

Barangkali memang ada ‘sesuatu’ yang dilihatnya petang itu di utara toko. Sesuatu yang aku nggak tahu. Dan semoga sesuatu yang nggak akan pernah bertemu aku.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak