Suara tanpa rupa? Aku pernah mengalaminya selepas magrib di rumah bosku sendiri, Cik Zhao Fei.
“Fris, para tukang sudah pulang. Ceret (teko air) sama nampan bawa turun.”
“Siap, Cik.”
Jadi, ceritanya Cik Zhao Fei berniat merenovasi rumah dan menambahkan lantai dua. Sebelumnya, bangunan ini berlantai satu dan digunakan sebagai salah satu cabang toko beliau.
Selepas azan magrib, ketika langit masih memerah dan remang, aku lalu naik ke dek atas, di mana pembangunan dimulai. Kalau siang hari, pemandangan dari atas sangat bagus karena bisa melihat hamparan persawahan luas. Kalau malam? Yah, gelap gulita.
Aku harus berhati-hati saat menapaki anak tangga yang licin, dan tidak ada pagar pengaman di sampingnya. Karena gelap, aku pun membawa senter HP.
“Biasanya ceret sama nampan ditaruh di dekat tembok belakang, Mbak. Jadi, habis tangga ini udah kelihatan kok,” kata Ko Liam.
“Oh, oke.”
Toh, ini bukan sekali dua kali aku mengambil ceret dan nampan snack untuk para tukang bangunan. Jadi, aku hafal di mana mereka meletakkan kedua benda tersebut. Masalahnya, ini adalah kali pertama aku naik ke dek atas saat magrib.
“Mbak….”
Terdengar suara lelaki yang berat dan ngebass di tengah kegelapan. Suaranya dalam, seperti suara Felix pada lagu God’s Menu Stray Kids, tetapi mengandung nada intimidasi. Tiada sosok yang tampak, pun saat senter HP kuarahkan ke segala penjuru.
Aku bermaksud meneruskan langkah, tetapi rasa ragu menghujam hati.
Baru setengah jalan, aku berbalik turun. Hawa dingin mencekam dan takut berpadu jadi satu. Melihat aku turun dengan tergesa, Ko Liam yang sedang nyantai pun mendekat.
“Kenapa, Mbak?”
“Uhm, Koko aja deh yang ambil. Aku takut,” kataku cengengesan.
Ko Liam hanya menggeleng kecil sebelum menapaki anak tangga dan kembali dengan ceret serta nampan. Rupanya, masih ada sisa gorengan yang akhirnya kami bagi.
“Tadi kenapa turun, Mbak? Tumben takut?” tanya Ko Liam sambil mengunyah dadar jagung. “Padahal biasanya tatag (berani) lho.”
“Tadi waktu aku naik tangga, Koko ada panggil nggak?” tanyaku.
Ko Liam menggeleng.
“Owalah, iya-iya,” ucapku canggung. Aslinya masih takut, sih.
“Memang kenapa, Mbak?” tanya Ko Liam lagi.
“Nggak apa-apa. Nanti kalau kuceritakan, Ko Liam takut.”
Ko Liam hanya mengedikkan bahu. Sepertinya dia paham. Dan dia nggak bertanya apa-apa lagi.
Lagi pula, aku pun tahu fakta bahwa dek atas selalu kosong kalau para tukang bangunan sudah pulang, maupun saat jadwal mereka libur. Ko Liam juga nggak berada di atas sana tadi. Pun suami Cik Zhao Fei juga sudah lama meninggal.
Jadi, yang tadi itu suara siapa?