Ngomongin hal seram, aku jadi teringat jaman SMA dulu. Dimana salah satu temanku melihat penampakan. Jadi, begini kisahnya.
“Fris, Fris! Friska!”
Aku menoleh ke arah pintu kelas sewaktu Adrian lari tergopoh-gopoh. Kenapa lagi bocah ini, pikirku.
“Fris, sekolah kita ini berhantu!” katanya panik. “Aku lihat sendiri!”
Aku memberinya isyarat untuk duduk di bangkunya, yang tepat di belakangku. Kuminta dia untuk mengambil napas kemudian menghembuskan napas selama beberapa kali. Tiada angin tiada hujan, bocah bertubuh tinggi tegap ini tiba-tiba bicara soal hantu.
“Udah tenang?” tanyaku.
Adrian tersenyum lebar. “Udah.”
“Oke, gimana tadi?”
Adrian tampak melirik ke kiri dan kanan sebelum bicara. Dengan sorot mata yang agak menyipit, sekilas dia seperti agen rahasia yang memberikan laporan.
“Semalam, sehabis isya pas pulang dari minimarket aku lewat jalan depan sekolah kita ini. Di gedung barat lantai dua itu, ada sepasang tangan misterius.”
Aku bingung. “Lha kamu kenapa lewat sini? Kan ada jalan raya?”
Dia terkekeh. “Nyari jalan sepi. Sekalian uji nyali.”
SMA 1 sendiri memang unik. Alih-alih berada di tepi jalan raya, sekolah ini justru berada agak tersembunyi dan dikelilingi ladang tebu tapi tentu bisa diakses dengan jalan kampung.
Dari arah utara, kita akan bertemu pertigaan dan harus belok ke timur. Disitu, kita akan melewati kantor pos, kawasan pertokoan, sekolah SMP negeri, SD negeri, puskesmas desa, hingga kantor dan balai desa sebelum belok ke selatan dan menemui SMA 1. Sedangkan dari arah utara, tepat di sebelah kantor Polsek, ada satu jalur yang langsung mengarah ke SMA 1.
“Kamu yo aneh. Ada jalan raya ramai, kok malah lewat area ladang tebu begitu. Mau sekalian nyari tebu?” cibirku.
Adrian kembali tertawa. “Mana tahu bakal ada penampakan.”
“Jadi, bentuknya gimana?” tanyaku penasaran.
“Jadi, aku naik motor pelan. Kamu tahu sendiri daerah sini gelap gulita.”
Aku mengangguk.
“Nah, pas kutengok ke arah sekolah, cuman lampu teras dan tepi jalan yang nyala. Lainnya gelap.”
Aku mengangguk lagi.
“Pas kulihat ke arah lantai dua gedung barat, di salah satu kelasnya, ada sepasang tangan nempel di jendela!”
“Tangan hantu?” tanyaku.
“Ya menurutmu, Fris?” Adrian meraba tengkuknya. “Mana semalam bulan purnama kan, jadi jelas sekali. Tangannya pucat banget.”
Tiba-tiba tengkukku merinding. “Dri, jangan-jangan orang mesum?”
Adrian menghembuskan napas kesal. “Setiap ruangan di SMA 1 ini selalu dikunci sama Pak Min, tukang kebun. Mana ada orang mesum?”
“Jangan-jangan Pak Min yang mesum?”
Adrian mengacak rambutnya emosi. “Kalau memang ada orang mesum, harusnya kan kelihatan siluet badannya. Lha ini cuman tangannya saja kok.”
Masuk akal.
“Waduh, mana sebentar lagi kita kan pindah ke gedung barat, Dri,” ratapku. “Kita dapat kelas yang mana ya?”
Adrian tampak berpikir sejenak. “Semoga bukan kelas yang itu.”
Kami sendiri memang baru saja menghadapai ujian kenaikan kelas dan libur panjang. Nah, hari ini adalah hari pindah kelas. Dimana kelas XI bertempat di lantai dua gedung barat, sedangkan lantai satu digunakan oleh kelas XII.
Beberapa menit kemudian, ketua kelas meminta kami untuk bersiap pindah kelas. Jadilah, aku diliputi rasa ngeri kalau-kalau apes mendapatkan kelas yang dimaksud Adrian.
“Oke, kelas kita disini ya. Silakan pilih bangku masing-masing,” titah ketua kelas.
Kami rupanya mendapat kelas kedua di selatan tangga. Dan tiba-tiba Adrian kembali mendekat.
“Aman, Fris. Bukan kelas yang ini kok. Kayaknya yang ada 'itunya' kelas di sebelah tangga persis itu.”
“Kamu yakin?”
Adrian mengangguk mantap. Dia kemudian memintaku untuk membandingkan hawa kelas baru kami, dengan kelas sebelah yang jomplang sekali.
“Dari hawanya saja, kelas sebelah lebih suram,” kataku. “Tiba-tiba merinding, Dri.”
Kelas sebelah nggak hanya suram, tetapi juga ada hawa ‘panas’ yang nggak bisa kujelaskan secara logika. Seperti ada sesuatu yang berada disana. Padahal, akses udara dan cahaya matahari sama-sama rata. Namun, kelas yang kami tempati terasa lebih adem dan nyaman.
“Kira-kira, yang kamu lihat semalam apaan, Dri?” bisikku.
“Nggak tahu, Fris.” Adrian kembali meraba tengkuknya. “Pokoknya sepasang tangan pucat.”
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS