Konon sejarah kampung ini, berupa sebuah danau. Tiada berpenghuni seorang pun. Tempat itu seperti kubangan kerbau yang sanagat luas. Tiada yang berani mendekat, paling cuma melihat dari kejauhan. Di utara kampung kami. Konon katanya, jika malam telah tiba, nampak ada sebuah warung remang-remang. Cuma berlampu templok berbahan bakar minyak troli. Dari kejauhan nampak gambaran hitam saja. Orang menyebutnya ngarung ireng, yang berarti warung hitam atau warung remang.
Pada suatu hari, datanglah seorang pengembara yang tidak diketahui nama dan dari mana asalnya. Konon ceritanya, pria ini sakti mandraguna. Beliau adalah murid dari Sunan Kalijaga yang sedang mengembara ke negeri anta berantah. Entah angin mana yang membawa pendekar sakti ini hingga terdampar di danau tersebut. Si pendekar itu lalu menghentikan langkahnya, karena terganggu bunyi keroncongan dari dalam perutnya yang tidak mau di ajak kompromi lagi. Dan akhirnya si pendekar , memetik pisang yang sudah matang dipohon dekat danau itu. Sehabis makan pisang, kemudian kulit pisangnya dibuang ke arah danau seraya berkata, “Suatu saat nanti kampung ini, akan saya beri nama Kampung Gedangan.”
Kemudian penggembara nan sakti mandraguna ini melanjutkan perjalanan ke arah barat. Entah seberapa persen tingkat kebenaran cerita ini. Faktanya kampung kami, sekarang bernama Gedangan. Menurut informasi dari para sesepuh kampung Gedangan, ada yang membenarkan cerita itu, dan banyak juga yang tidak tahu menahu kisah berdirinya kampungku. Saya hanya berprangka baik saja, membenarkan cerita ini. Persisnya tahun berapa juga tidak ada satu sumber pun yang mendukung berdirinya kampung Gedangan.
Cikal bakal kampung Gedangan, sebagaimana seringkali kuhadiahkan bacaan tahlil dan kalimah toyyibah, bernama Simbah Ki Amat Sugih dan Nyi Amat Sugih. Kemudian mbah cikal bakal memiliki anak. Dari anak tumbuh berkembang ke silsilah berikutnya cucu, cicit, canggah, wareng dan seterusnya sampai sekarang. Dan akhirnya kampung Gedangan menjadi bhineka tunggal ika. Walaupun berbeda-beda tetap tetap satu jua, yaitu Indonesia. Kehadiran warga pendatang (non pribumi) ikut mewarnai pola pikir masyarakatnya. Walaupun pada awal-awal kehadirannya dianggap sebagai pengancam.
Warga asli suudzon seolah pendatang akan merebut daerah kekuasaannya. Padahal faktanya justru setelah adanya pendatang, progres pembangunan di kampung kami lebih kelihatan. Tetapi yang membuatku heran, mengapa pola pikir warga asli yang super kolot. Bahkan beberapa dari mereka yang melabeli kampung kami dengan sebutan “kampung sukar maju”. Bahkan ada warga juga nyeletuk kampung kami dengan sebutan “jahiliyyah modern”.
Aku hijrah ke kampung ini. Pada saat aku menikah dengan cinderellanya warga Gedangan. Sri Cantika Dewi, putri dari Bapak Hadi Suwito. Mulailah aku berinteraksi sosial dengan beraneka karakter warga kampung ini. Aku mulai mencium bau-bau kebencian warga kepada keluargaku. Aku tidak tahu persis karena ada masalah apa? Tetapi secara tiba-tiba, aku dan bapak mertuaku tidak mendapat undangan kenduri krtika tetangga yang hajatan.
Menurut informasi yang kudengar dari beberapa warga, bahwa jasa-jasa orang tuaku terhadap kampung Gedangan sangatlah besar. Sebagai pemrakarsa perkumpulan malam Jumat Kliwon. Sebagai arsitek pembangunan musholla, pembangunan gapura, pembangunan pagar bumi. Bahkan mensupport kegiatan olah raga warga seperti bola voli dan bulutangkis bagi warga, sampai-sampai merelakan tanahnya. Tetapi sekarang, bagaimana perilaku warga membalasnya? Kami diskorsing hanya karena persoalan yang sepele. Sebagai korban adanya geng-gengan yang membabi buta dan egois.
“Iya, ibarat kacang lupa lanjaran,“ tanyaku kepada rumput yang bergoyang yang di hembus oleh dinginnya angin malam.
Tetapi dalam benakku ingin meneruskan perjuangan keluarga kami. Dalam rangka ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan di segala bidang di kampung Gedangan. Walaupun pada awalnya ibu sudah mengingatkan dan berpesan padaku.
“Wis le, ra sah di mepeng-mepengke. Mbok dibantu mikirke pembangunan, tapi ora ana blas rasa matur nuwune .“
“Injih bu, sendika dawuh,”jawabku untuk menyenangkan beliau.”
Tetapi walau bagaimana pun, pada situasi dan kondisi tertentu, jiwaku tetap ingin bermanfaat bagi orang lain. Sebagaimana Sabda Nabi : “Khairun naasi anfa’uhum linnaasi.”
Semua informasi terkait bantuan dana stimulan, baik yang bersumber dari Pemerintah Desa, maupun dari Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Desa Panggungharjo, ingin kuraihnya. Kebetulan banyak teman dan relasi di dua institusi itu. Didukung oleh beberapa warga yang sejalan dengan pemikiranku. Seperti Ketua Paguyuban, Ketua RT dan tokoh masyarakat lainnya, sebut saja Pak Sutrisna dan Pak Raharja. Belum lagi dukungan dan respon dari Pak Dukuh, semakin melecut cita-citaku unutk membangun kampung Gedangan.
Lama-kelamaan, secara kontinyu dengan mengedukasi warga tentang persamaan persepsi pembangunan kampung Gedangan tercinta. Dari tahun ke tahun, bantuan demi bantuan, mengalir drastis sehingga pembangunan sarana dan prasarana fisik, seperti cor blok jalan utama, cor blok jalan lingkar, bangket jalan lingkar, pembangunan musholla, pembangunan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) komunal, dan lain sebagainya dapat dilaksanakan dengan gotong royong warga kampung.
Tetapi sayang seribu sayang, pembangunan non fisik tidak sedrastis pembangunan fisiknya. Usahaku untuk membangun pembangunan manusia seutuhnya baik lahir maupun batin di Kampung Gedangan masih separuh dari harapan. Karena kebutuhan akan batin (mental spiritual) masih jauh dari harapan. Tradisi ghibah (ngrasani) tetangga semakin tumbuh subur. Rasa iri dan dengki tumbuh berkembang di kampung ini.
Tradisi geng-gengan juga kian merebak. Konon turun temurun dari danyange. Siraman ruhani ketika pengajian, belum mampu merubah pola pikir negatif. Cuma satu pranata sosial peninggalan dari nenek moyang kita, yang masih terpelihara dan terjaga di kampung Gedangan ini , yaitu semangat gotong royong. Gotong Royong merupakan jurus yang sangat ampuh yang dapat diandalkan oleh warga kampung. Pranata sosial yang luhur ini adalah warisan leluhur dari nenek moyang kita.
Amazingnya realitas semangat gotong royong warga kampungku yang diwujudkan dalam pola relasi antar warga dalam bidang politik yaitu selalu musyawarah, pola relasi antar warga dalam bidang sosial yaitu mengedepankan keluargaan dan pola relasi antar warga dalam bidang ekonomi adalah mengutamakan kerja sama. Senjata gotong royong ini yang masih dijadikan jurus andalan warga pribumi dan disengkuyung warga pendatang dalan bentuk bhineka tunggal ika. Tanpa membedakan ras, agama, suku, semua guyup rukun warga Gedangan yang disingkat menjadi GUMREGED.
Apalagi dalam menghadapi pageblug Covid-19, Gotong Royong menjelma menjadi pilihan satu-satunya dalam menjaga tetangga, menjaga warga dari sebaran Covid-19 dan pembatasan masyarakat berskala mikro berdasar kearifan lokal sangatlah mujarab dalam menekan penyebaran Covid-19. Inilah kemenangan yang nyata, kampung bisa mandiri, mengatur rumah tangganya sendiri. Sungguh amazing warisan gotong royong dari para leluhur kita ini. Gotong royong dapat menjelma dalam tiga bidang kehidupan, dalam bidang sosial menjlema menjadi relasi kekelurgaan, dalam bidang politik menjelma menjadi relasi musyawarah dan dalam bidang ekonomi menjelma menjadi relasi kerja sama. Sungguh amazing pranata sosial warisan leluhur bernama gotong royong ini.
JUNAEDI, S.E. , Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID).