Benteng Akal untuk Nafsu

Rendy Adrikni Sadikin | M Ghaniey Al Ra
Benteng Akal untuk Nafsu
Ilustrasi.(Tipstriksib.net)

Kita semua harus beragama karena sudah diatur pada aturan negara. Didengarnya suara speaker persis sore hari kala sedang memancing di sungai dekat kampung. Denging suara penceramah begitu semangat untuk menyampaikan butir-butir kehidupan. Berusaha dan berharap pada Tuhan haruslah tertanam pada pribadi-pribadi golongan mereka.

Tak jarang sering disampaikan bahwasannya ajaran merekalah yang paling benar. Apabila tidak sejalan dengan ajaran mereka, dengan berani ia mengatakan “akan tersesat dan menderita selamanya.” Apakah semua agama mengajarkan seperti itu? Adakah yang menyampaikan “Semua sama untuk masalah surga dan neraka?” Oli merenung dengan jongkok menanti umpan pancingnya agar disambar seekor ikan.

Langit sore kekuning-kuningan membuat mata oli terbelalak, dan bertanya-tanya. Siapakah pencipta semesta ini? Di pikirannya hanya sebuah konsep alam yang terus mengalami revolusi untuk tercipta konsep dan komponen baru mengisi ruang hidup makhluk hidup. Tapi, sering juga didengarnya, bahwa seisi dunia ini diciptakan tanpa melalui proses, dan harus percaya tanpa mengada-ada, agar tak dituduh tak beriman.

Di benak Oli, bila saja rasionya seperti itu, bisa saja fatalis dan anti pengetahuan. Semua dilimpahkan pada pragmatisme agama karena malas untuk mencari sebab akibat agar akal kita berpikir. Terlintas dan teringat celetuk temannya yang pernah 16 tahun mengabdi di ruang religius mengatakan, dalam kitab kita diberi penjelasan, sedangkan dalam realitas kita perlu membenturkan dan mencari tahu dari bukti-bukti itu.

Pancing dirasa ada tarikan lumayan kuat dengan lamat-lamat. Nampaknya, umpan Oli baru saja digigit oleh mangsa dibawah sungai. Kecoklatan, berbau amis menyengat kedalam hidung dan kerongkongan Oli. Ketika dirasa mengganggu, Oli melumasi kerongkongannya dengan seteguk air mineral agar tak kering dan mual dibuat sungai yang lumayan tercemar itu.

Kanan, kiri dan seberang sungai dilihatnya, beberapa pohon randu yang membuat teduh daerah bantaran sungai. Ada juga perempuan berbaju modern menemani pasangannya memancing tak luput cubitan dan cium di pipi membuat Oli merasa gatal, tak tahu kondisi yang tepat dihadapan bujangan seperti Oli. Lingkungan Oli baru-baru ini lumayan bebas, banyak sekali masyarakat kehilangan kearifan mungkin juga karena terlalu banyak konsumsi tayangan barat.

Memancing adalah hobi Oli. Memandang alam dan sekitar sungai jadi kebiasaan Oli ketika otaknya terasa penat. Melamun, merenung dan bertanya-tanya selalu dilakukannya sambil menunggu umpannya dimakan seekor sampai belasan ekor ikan harapnya. Semua itu dilakukan harus berada pada tempat sepi agar bisa berfantasi dan bertanya-tanya lebih tajam.

Gemercik aliran sungai juga membuat Oli terasa haus. Suara aliran air membuat kerongkongannya menjadi kering. Segelas es teh manis bisa mengobati dahaga pikirnya. Untung saja, dibantaran sungai itu ada warung yang selalu ramai pengunjung. Dijeptikan pangkal pancing ke sela-sela batang pohon berbentuk Y agar pancing tak jatuh ke sungai keruh itu.

Dilihatnya dada bulat seperti buah apel impor kala masuk mengamati pemilik warung itu. Mungkin saja, ramainya warung itu karena pesona penjual yang memang lumayan menggoda dan memantik birahi. Dilihat sekilas, memang dikonsep dengan sengaja agar menarik banyak pembeli. Celana jeans ketat, pakaian berwana pink yang ketat pula, sehingga memperkuat timbul dada seperti buah apel. Pengunjung kebanyakan laki-laki dari usia muda sampai tua. Ah, memang tak bisa disalahkan imajinasi mereka.

Maraknya pelecahan seksual di daerahnya sebenarnya salah siapa? Terlintas Oli memikiran hal tersebut. Tiba-tiba ia menjadi detektif dengan merenung dan memfikirkan sebab akibat. Bila mana otak mesum itu bisa dibendung alhasil mungkin tak akan ada pelecehan seksual. Tapi, imajinasi memang hak individu untuk digunakan. Sedangkan, manusia bebas untuk menentukan diri mereka baik cara berpakaian tapi tetap terbentur dengan budaya dan aturan. Lalu, harus bagaimana?

Eureka! Agama sebagai kesepakatan agar tercipta etika alias batasan-batasan dalam perilaku. Es teh satu kak. Pesan Oli kepada penjual. Tapi, itu semua bukannya bisa dilaksanakan dari peranan akal? Kita yang berpikir, dan kita yang melakukakan. Masak, kita malas untuk berpikir? Teringat Richard Dawkins menyebut orang beragama seperti anak TK yang belajar tentang dunia.

Es teh manis sudah digenggaman Oli. Dilanjutkan untuk duduk dan memancing di bantarakan sungai yang lumayan teduh itu. Langit semakin menguning. Dierperkirana waktu menunjukan pukul empat. Masih saja terdengar speaker besar yang menyampaikan peranan agama dalam kehidupan. Sekali lagi, “kita harus beragama dan menanamkan iman sekuat tenaga, karena dunia semakin hari pelik akan sebuah cobaan.” Sembari duduk dan menikmati es teh oli mengecek umpan pancingnya yang ditinggal belum lama itu.

Umpan sudah habis dimakan mangsa, kala ia sedang memasan es teh manis. Diambilah satu ekor kecoak dan ditusuknya dari pantat hingga keluar cairan putih kehijau-hijaun dari anus kecoak itu. Dibasuhlah tangannya dengan aliran air keruh dari sungai. Memang cobaan semakin berat, apalagi seorang bujang seperti Oli, yang selalu naik birahi bila tak dilampiaskan.

Menikahlah maka kamu akan terbayar segentong hawa nafsu dalam diri. Tidak semudah itu, kehidupan yang serba dinilai uang tak bisa seanaknya meminang anak orang dengan mahar seharga air mineral. Itu salah satu alasan mengapa Oli diusianya yang hampir berkepala tiga masih belum berani meminang wanita di desannya.

Nafsu memang ada dalam diri manusia. Baik yang mengaku beragama sampai tidak, pasti ada nafsu dalam diri mereka. Akal dan kemanusianlah yang mengolah nafsu-nafsu itu. Pelecehan seksual baru-baru ini ramai diberitakan di media. Dari orang beragama hingga orang-orang mengaku pengayom masyarakat. Sungguh muak pikiran Oli. Bisa saja, orang beragama tak kuat menahan menahan perihal perut kebawah itu.

Nah, diri sendirilah yang menjadi kuncinya. Agama hanya sebatas alat semata. Tidak menjamin, orang yang tekun beragama atau tinggi dalam pangkat duniawinya mampu bijak menghadapi nafsu-nafsu yang kadang bergejolak. Peranan diri sendiri adalah kuncinya. Percuma saja bila kehendak diri dibelenggu oleh kelompok atau sentrum tertentu hingga lupa akan dirinya sendiri.

Strike! Akhirnya Oli mendapatkan satu ikan yang lumayan gemuk. Pasangan di seberang sana tertawa dan mengajungkan jempol kearah Oli atas hasil tangkapannya. Hari mulai gelap. Kuning langit berubah menjadi oranye. Bintang dan bulan mulai menampakan eksistensinya. Oli pun bersiap-siap untuk mengemasi perbekalan yang ia bawa.

Sambil berkemas-kemas, Oli merenung bagaimana laku sikap diri dan agama. Menurutnya, agama sebagai wahana untuk kepercayaan mengilhami kehidupan metafisik agar bisa diilhami. Tetapi, tak lupa menentukan peranan kuat diri sendiri alias nalar untuk berlaku sesuai dengan etika dan aspek humanisme dalam kehdiupan yang kompleks ini. Masih terus bertanya-tanya dalam diri Oli. Lebih dahulu mana? Nalar atau beragama?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak