Menulis merupakan sebuah kegiatan yang tampaknya gampang, tetapi saat dilakukan, faktanya belum tentu seperti itu juga. Mereka yang menulis puisi harus berhadapan dengan risiko memilih diksi. Mereka yang menulis cerpen kadang bingung membangun konflik. Para penulis esai tak jarang harus bergelut dengan berbagai cara guna membungkus subjektivitas dalam solusi.
Setiap penulis dengan karya tulis jenis apapun tentunya mengalami masalah masing-masing. Masalah tersebut sering kali menjelma menjadi tembok penghalang yang besar, yang (seolah) mencegah para penulis pemula untuk melanjutkan aktivitas menulisnya.
Akibat hal tersebut, cukup banyak dari para penulis pemula yang lebih memilih untuk mundur dari dunia kepenulisan. Namun, tak sedikit pula penulis yang mampu bertahan hingga kemudian bisa melewatinya, meski mereka lelah dan penuh luka.
Lantas, selepas berhasil melewati msalah termaktub, apakah para penulis itu seketika bebas (tak bertemu masalah lagi)? Tidak! Mereka tetap bertemu masalah. Bahkan mungkin masalah yang baru tersebut lebih runyam daripada sebelumnya. Pertanyaanya, bagaimana bisa mereka tetap bertahan dalam dunia kepenulisan? Jawabannya sederhana, mereka memiliki motivasi.
Sepakat atau tidak, faktanya motivasi memiliki peran yang penting dalam semua lini kehidupan, termasuk dunia kepenulisan. Tanpa motivasi, mungkin orang akan berpikir, “Ah! Ngapain sih susah-susah ngelakuin ini?”.
Paradigma seperti itu akan membelenggu seseorang dalam zona nyaman. Sehingga, tanpa disadari, zona yang kelihatannya membebaskan dirinya dari beban justru berbalik membunuhnya. Yap! Manusia yang terus-terusan tinggal di zona nyaman tentu akan kalah dalam kompetisi yang merupakan keniscayaan dalam kehidupan. Oleh sebab itu, manusia harus bergerak (berjuang) karena hal tersebut adalah fitrahnya. Untuk memulai perjuangan, kita butuh niat. Dan untuk terus menjaga konsistensi perjuangan, kita butuh motivasi.
Bicara soal motivasi, dalam dunia kepenulisan ada banyak sekali sumbernya. Salah satunya datang dari para intelektual muslim. Seperti diketahui bersama, budaya tulis-menulis bukanlah hal baru. Para ulama mutaqaddimun (terdahulu) sudah sangat familiar dengan budaya menulis. Bahkan, lantaran budaya menulis yang menjamur pada para inteletual muslim, peradaban Islam pernah menjadi peradaban terbesar dalam sejarah.
Jumlah karya tulis yang mereka hasilkan saat itu tak bisa dipandang sebelah mata. Jenisnya pun beragam, bukan hanya tentang akidah, fikih, tafsir, hadis. Melainkan juga mencakup ranah kedokteran, astronomi, juga matematika.
Sebenarnya, apa alasan para intelektual muslim begitu produktif dalam menulis? Beberapa di antara mereka telah mengungkapkan alasan mengapa mereka tak berhenti menulis, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Alasan-alasan mereka tersebut bisa dijadikan motivasi khususnya bagi para penulis pemula (seperti saya) supaya tak menyerah begitu saja dalam menghasilkan karya.
Berikut pemaparannya lebih lanjut.
1. Imam Ghazali
Siapa tak mengetahui beliau. Ulama yang bergelar ujjatul Islam ini telah menulis banyak karya. Ungkapan al-Ghazali yang sangat masyhur dan memberi semangat kepada para penulis adalah, “Bila engkau bukan putra raja atau putra ulama besar, maka menulislah!”. Mengapa al-Ghazali menyatakan demikian?
Bila membaca biografi beliau, kita akan tahu bahwa Imam Ghazali memang bukan putra raja atau putra ulama besar. Ayah beliau merupakan orang yang bekerja sebagai pemintal wol. Artinya, apa yang beliau ucapkan di atas merupakan fakta yang memang beliau sendiri alami.
Lantaran giatnya beliau dalam menulis, namanya sampai saat ini seolah tak ada yang tak tahu. Jika ditelisik dari apa yang beliau ucapkan (tentang menulis) dan apa yang beliau alami, maka bisa diketahui bahwa dengan menulis bisa membuat kita yang merasa berada di kelas sosial bawahtidak kehilangan eksistensi, dan di sisi lain hidup kita akan memiliki kontribusi terhadap peradaban.
2. Imam Suyuthi
Ulama yang pernah berkolaborasi dengan Jalaluddin al-Maalli hingga kemudian menghasilkan karya yang berjudul “Tafsir Jalalain” ini telah menghasilkan lebih dari 300 karya. Saat beliau men-syarah hadis tentang sedekah jariyah dalam kitab Sunan al-Nasa’i, beliau menuliskan bahwa pahala ilmu bisa abadi (terus mengalir, jariyah) dengan diajarkan atau dikarang (ditulis). Ini merupakan sebuah solusi bagi kita yang mendambakan punya ilmu yang bermanfaat, tapi belum memiliki kesempatan untuk mengajarkannya.
Itulah beberapa motivasi menulis dari para ulama yang bisa kita gunakan untuk menyulut semangat menulis kita. Apabila para cendekiawan muslim dahulu menulis dengan menggunakan pena celup dan bisa menghasilkan ratusan karya, lalu mengapa kita yang telah dimanjakan oleh teknologi masih saja beralasan yang macam-macam untuk menulis?
Motivasi menulis bisa berasal dari siapa saja, termasuk para ulama. Namun tetap saja, motivasi yang paling kuat adalah motivasi yang berasal dari diri sendiri. Jadi, temukan motivasimu dan teruslah menulis!