Dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring pada Kamis (3/6/2021), Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan keputusan perihal pembatalan ibadah haji pada tahun 2021 ini.
Hal tersebut pun lantas menuai banyak respons dari berbagai pihak. Mulai dari masyarakat biasa, dai, hingga artis yang tengah menjalani masa yang ia sebut dengan hijrah.
Responsnya pun bermacam-macam. Misalnya, Felix Siauw menulis dalam cuitannya, “Ketinggian bahas khilafah, bahas haji aja batal”. Lalu ada juga Arie Untung, karena responsnya terhadap keputusan pembatalan haji, dianggap oleh netizen tengah menjadi ‘ahli surga’. Hadeh! Makin hari makin random banget orang-orang di negeri ini.
Banyak desas-desus pun bertebaran di masyarakat. Ada yang bilang dana haji dibuat bayar utang negara, ada juga yang bilang dana haji dibuat bangun infrastruktur. Akibat desas-desus itu, banyak orang merasa cemas dengan alokasi dana haji miliknya.
Sebenarnya ini merupakan hal yang normal, mengingat dalam studi psikologi, kecemasan adalah respons yang tepat terhadap suatu ancaman. Kabar dana haji yang akan dialokasikan tidak pada tempatnya tentu menjadi sebuah ancaman bagi sebagian orang, khususnya mereka yang berada dalam kelas ekonomi menengah ke bawah, yang untuk mendaftar haji harus nabung bertahun-tahun.
Oleh sebab itu, bagi orang-orang yang merasa cemas karena isu alokasi dana haji yang belum jelas, kalian termasuk orang yang normal, asalkan cemasnya nggak berlebihan lho ya.
Terus, untuk orang-orang yang nggak cemas bagaimana? Berarti mereka termasuk golongan orang-orang yang bertawakkal. Akibat isu yang belum jelas dan kecemasan masyarakat tersebut, akhirnya dirilislah prosedur lengkap pengembalian dana dan paspor jemaah haji 2021.
Pertanyaannya sekarang, kenapa sih ibadah yang paling banyak mendapat sorotan masyarakat kita hanya haji? Berikut ini saya paparkan 'hasil penelitian’ saya terkait hal tersebut.
1. Biaya
Haji memang bukan satu-satunya ibadah tahunan, puasa Ramadhan dan zakat fitrah pun termasuk ibadah tahunan. Nah, yang membuat haji terasa lebih spesial dibanding mereka berdua adalah biaya yang dibutuhkan.
Di negeri yang menjunjung tinggi prinsip “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang bisa membeli pasal” ini, tentu tak mengherankan jika masyarakatnya menaruh perhatian besar terhadap ibadah haji yang notabene membutuhkan dana yang tak sedikit
Budaya kita saat ini memang berorientasi pada uang. Apa sih sekarang yang nggak terkait dengan uang? Cuma cek saldo di ATM mau dikenakan biaya admin (katanya buat kenyamanan nasabah), sembako hendak diberi pajak (bukan 10 persen tapi 12 persen). Eh, tapi bukannya berorientasi pada uang (dengan kata lain materialistis) termasuk ciri masyarakat modern ya? Berarti masyarakat negeri ini... Ya, begitulah.
2. Gengsi
Tahu lah ya kenapa banyak orang begitu semangat untuk melaksanakan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji pasti ada tambahan satu dua huruf di depan namanya, huruf “H” atau “Hj”. Berbeda dengan ibadah lainnya yang mana selepas menunaikannya orang nggak akan dapat tambahan huruf apa-apa di depan namanya.
Hal inilah yang membuat beberapa orang lebih semangat melaksanakan ibadah haji ketimbang ibadah lainnya. Bukan untuk menyempurnakan rukun Islam, tapi mendapat status keistimewaan dari masyarakat sekitar.
Bahkan karena alasan gengsi ini, tak sedikit orang (biasanya politikus) yang berangkat haji berkali-kali. Padahal Rasulullah saw sendir iyang tempat tinggalnya di daerah pelaksanaan haji hanya berhaji satu kali.
Jadi, bagi orang-orang (politikus) yang berangkat haji berkali-kali dengan biaya sendiri, lebih baik biayanya tersebut digunakan untuk memberangkatkan haji orang-orang yang kurang mampu. Itu justru lebih bermanfaat ketimbang digunakan untuk berangkat haji sendiri dengan niat supaya kelihatan paling saleh.
3. Terlalu Sering Dijejali Perihal Haji
Masih terkait dengan gengsi tadi, masyarakat kita selalu memanggil mereka yang baru pulang haji dengan panggilan pak haji atau bu hajah. Selain itu, tak sedikit penceramah yang selalu membahas haji waktu pengajian. Akibat banyak mengonsumsi kajian tersebut, masyarakat kita pun beranggapan bahwa ibadah yang paling penting itu ibadah haji.
Fenomena ini sama seperti fenomena sinetron di Indonesia. Masyarakat kita lebih suka dengan sinetron atau cerita-cerita (film) yang berbau kisah cinta. Penyebabnya adalah masyarakat kita selalu dijejali dengan hal tersebut saat jam tayang prime time. Akibatnya, pikiran bawah sadar mereka mengklaim bahwa inilah (baca: sinetron) tontonan yang bagus. Sama seperti kasus haji tadi, dalam pikiran bawah sadar masyarakat kita sudah tertanam kalau haji itu ibadah yang paling penting.