Pembelajaran daring atau online masih menjadi sistem belajar yang dianut oleh dunia pendidikan di Indonesia. Virus Covid-19 yang merebak dan kayaknya bersarang di sekolah dan kampus itu membuat kami para mahasiswa terpaksa belajar dari rumah menggunakan gadget.
Dengan sistem belajar mengajar seperti itu, para pelajar biasanya menggelar meeting online dengan aplikasi Zoom atau Google Meet. Sementara untuk penyampaian tugas, dilakukan melalui Google Classroom atau Grup WhatsApp (WA). Tapi, ternyata banyak kesalahpahaman para guru atau dosen soal aplikasi Google Classroom dan Grup WA.
Kebanyakan dosen atau guru selain memiliki Google Classroom yang harus tertaut dengan akun para pelajar, punya juga grup WhatsApp untuk absen atau menyampaikan tugas. Tapi, hal itu malah membuat belajar jadi tidak efektif dan efisien. Dua aplikasi yang fungsinya bisa sama tapi dipake dua-duanya. Sangat kapitalis sekali, kan!
Dari pandangan saya sendiri, Google Classroom lebih cocok dan efektif dalam proses penyampaian tugas dan absen. Sebab, dosen tinggal mengirim tugas dan notifikasi langsung masuk ke gadget masing-masing pelajar. Soal absen, pengajar tak perlu khawatir, tinggal melihat siapa yang mengirim tugas. Jika kurang dari jumlah pelajar, maka ada yang belajar jadi anggota DPR.
Lalu, kok grup WA dianggap tidak efektif? Jelas, saya kuliah semester empat dengan beberapa mata kuliah. Ambil contoh ada lima mata kuliah, sehingga ada lima grup WhatsApp. Ditambah grup kelas, grup keluarga, grup bestie, dan grup-grup gabut lainnya. Itu kan bikin boros memori, berisik karena notifikasi, kalau dibisukan sama dengan kehilangan informasi. Kehilangan informasi sama dengan nggak dapat nilai. Setelah nggak dapat nilai, ngulang kelas. Kan, menyusahkan diri sendiri.
Oleh sebab itu, sebaiknya para pengajar ini jangan salah paham dengan aplikasi Google Classroom dan grup WA. Harusnya jangan dipakai dua-duanya. Pilih saja yang paling nyaman dan efektif. Jadi nggak bikin pusing para pelajar karena notifikasi dan grup yang bejibun nggak jelas. Hal ini perlu dipahami dan diresapi dengan jiwa yang tenang dan bersih, kalau marah-marah malah nggak kondusif.
Para pelajar juga dituntut aktif dalam memahami aplikasi Google Classroom. Karena dari pengalaman saya, masih banyak teman-teman saya yang nggak paham cara masuk ke kelas yang dibuat dosen. Itu kan bikin pusing saya yang paham. Ya ndak tahu, kok tanya saya.
Pelajar harusnya aktif mencari di internet atau di manapun itu supaya makin melek teknologi. Jadi, jangan cuma hype dan fasih di aplikasi yang lagi rame kayak Clubhouse. Walaupun itu bisa dipakai untuk diskusi kelas. Cuma, ayolah ini 2021, masa hal-hal kayak gini juga nggak ngerti?
Sinergi antara aplikasi meeting dengan Google Classroom akan lebih efisien karena mudah dan cepat. Nggak perlu scroll chat karena tugas yang dikirim dosen ngelelep akibat percakapan nggak jelas. Dengan Google Classroom, tugas bisa dicari sesuai matkul yang ada. Efektif, bukan?
Mungkin saya akan dianggap membela aplikasi buatan luar negeri dengan menjelaskan hal-hal di atas. Maka dari itu, bagusnya sih Kemendikbudristek bisa membuat aplikasi serupa. Jadi, jangan cuma koar-koar berhenti membeli produk luar tapi produk dalam negeri nggak ada yang dijadikan alternatif. Sama aja bohong.
Indonesia mungkin tidak bisa bersaing dengan aplikasi sosial media lainnya. Tapi, saya yakin bisa bersaing dengan membuat aplikasi belajar. Seperti membuat aplikasi bernama Ruang Kelas misalnya. Kalau Ruangguru hanya khusus les, maka Ruang Kelas dijadikan aplikasi penunjang tugas dan absen kelas. Tapi, rasanya saya perlu bangun dari mimpi.
Sebab, saya yakin metode pembelajaran hibrida ini akan terus ada meskipun sekolah tatap muka diberlangsungkan dan pandemi Covid-19 sudah musnah dari muka bumi ini. Maka, tetap saja, penguatan SDM perlu digalakkan. Jangan sampai teknologinya bagus, tapi otak manusianya mandeg, nantinya tumpang tindih. Sampai-sampai menyalahkan teknologi sebagai penyebab bodohnya generasi muda.
Padahal bukan teknologi yang membodohi generasi muda. Tapi, generasi itu yang bodoh terhadap teknologi. Maka, edukasi digital sangat diperlukan, jangan cuma dijadikan tema webinar dan slogan program kerja. Implementasinya harus kelihatan, jangan tertutup kayak pimpinan KPK.