Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan satu dari empat wilayah otonomi khusus di Indonesia yang beribukota di Kota Yogyakarta. Berbeda dengan provinsi lain, kursi kepala daerah di D.I. Yogyakarta diduduki oleh keturunan dari keluarga Keraton Yogyakarta. Daerah istimewa ini sangat terkenal di kalangan wisatawan sebagai Kota Pelajar dengan adat tradisi Jawa yang masih kental lestari.
Daerah Istimewa Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan Kota Jogja, di balik keindahan alam budayanya, ternyata juga menyimpan sisi gelap di dalamnya. Sama seperti kota-kota pada umumnya, Jogja juga pasti memiliki sisi gelap yang selama ini jarang diketahui oleh publik. Salah satu yang marak terjadi dan banyak ditakuti bahkan oleh masyarakat setempat adalah adanya fenomena "klitih".
Apa itu klitih?
Disadur dari Kumparan, dalam Bahasa Jawa, klitih merupakan istilah yang merujuk pada kegiatan seseorang keluar rumah di malam hari tanpa tujuan yang jelas atau cari angin.
Dalam konteks ini, klitih merupakan salah satu fenomena sosial berupa aksi premanisme di D.I. Yogyakarta dan sekitarnya yang banyak dilakukan oleh sekelompok pemuda. Fenomena semacam ini terjadi pada kalangan muda yang biasanya masih duduk di bangku SMP atau SMA berusia sekitar 14-19 tahun. Motifnya biasanya adalah persaingan antar geng atau kelompok yang saling beradu kekuatan.
Tak segan menyerang siapa saja
Klitih biasanya dilakukan saat geng-geng sekolah masih menjamur, klitih dimaknai sebagai aksi konvoi memutari kota kemudian melewati sarang geng musuh dengan tujuan untuk memprovokasi satu sama lain. Namun ketika geng-geng sekolah sudah lenyap, aksi klitih berubah menjadi syarat keanggotaan untuk dapat bergabung dalam geng tanpa mempedulikan lagi identitas asal sekolah.
Jika awalnya target sasaran klitih adalah geng yang dianggap musuh, namun karena semakin berkurangnya persaingan antar geng, klitih kini berubah menyerang korban secara acak. Mereka tidak segan melukai siapapun dengan menggunakan senjata tajam seperti pisau, celurit dan sebagainya.
Berbeda dengan begal
Fenomena klitih berbeda dengan begal, jika pada begal bertujuan untuk mengincar harta korban, pelaku klitih biasanya cukup puas hanya dengan melukai korban, apalagi jika sudah tidak berdaya dan ditinggalkan terkapar begitu saja. Tindakan semacam ini dilakukan untuk menunjukkan power (kekuasaan) serta eksistensi individu maupun kelompok yang mereka bela.
Faktor penyebab timbulnya klitih
Munculnya fenomena klitih ini biasanya disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang mendasari perilaku klitih di antaranya adalah adanya masalah dalam hubungan keluarga, khususnya dengan orangtua, interaksi remaja dengan kelompok (lingkungan), serta karakter individu.
Namun penyebab yang paling banyak mendasari adalah dinamika kelompok sosial. Di usia remaja, biasanya seseorang akan sibuk dalam mencari jati dirinya. Ketimbang mencari pengakuan dari orang tua, sebagian remaja biasanya lebih percaya diri untuk mencarinya dari teman-teman sebaya. Remaja seperti ini biasanya tidak segan-segan untuk melakukan apa saja agar dirinya mendapatkan pengakuan dari kelompoknya untuk mengkukuhkan identitasnya sebagai individu.
Jika berhasil, biasanya remaja tersebut akan merasa memiliki social support dari kelompok yang menaunginya. Perasaan tersebutlah yang akan menjadikannya lebih berani dalam melakukan hal-hal berbahaya.
Masih kerap terjadi
Hingga saat ini fenomena klitih masih banyak ditakuti bahkan oleh masyarakat setempat. Meskipun telah banyak pelaku yang ditangkap, namun fenomena ini belum bisa dipastikan telah hilang sepenuhnya.