Sebelum Terlambat, Kenali 7 Kesalahan yang Disesali Mahasiswa Setelah Lulus

Munirah | Melynda Dwi Puspita
Sebelum Terlambat, Kenali 7 Kesalahan yang Disesali Mahasiswa Setelah Lulus
Ilustrasi Penyesalan Mahasiswa. (pexels.com)

Wisuda menjadi perayaan yang dinantikan para mahasiswa yang telah berjuang memperoleh gelar akademik. Pasalnya, seringkali wisuda dikaitkan dengan sebuah pencapaian atas kerja keras selama berkuliah. Euforia wisuda begitu melekat di kalangan mahasiswa tingkat akhir yang berhasil melewati masa menjajaki dunia kampus. Sayangnya, wisuda tidak selalu berakhir dengan kebahagiaan.

Fase kehidupan yang ‘sesungguhnya’ pasca kuliah justru akan dimulai setelah wisuda. Pergolakan batin antara melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi atau mencari pekerjaan biasanya akan muncul. Hingga beberapa kali teringat akan penyesalan-penyesalan selama berkuliah. Kira-kira apa sajakah kesalahan yang sering dialami mahasiswa dan baru disadari setelah lulus? 

1. Tidak belajar bahasa asing

Bahasa adalah ujung tombak yang universal dari sebuah komunikasi. Namun, fungsi bahasa tidak hanya sebagai media interaksi antar manusia. Bahasa juga seringkali dijadikan syarat dan sebuah nilai tambah dari individu. Keahlian berbahasa asing, tidak hanya dibuktikan dari kecakapan. Tetapi ada bukti lain berupa skor TOEFL/IELTS. 

Beberapa lowongan pekerjaan memberikan kriteria yakni kemampuan bahasa asing yang baik bagi kandidat karyawan. Sementara di jenjang pendidikan tinggi, bahasa asing juga menjadi standar untuk memahami materi perkuliahan.

Banyak jurnal-jurnal dan buku yang biasanya menggunakan bahasa internasional. Bahasa asing yang dimaksud bukan hanya Bahasa Inggris semata. Saat ini banyak perusahaan/instansi yang meminta seseorang harus lancar berbahasa Jepang, Mandarin, hingga Perancis.

2. Tidak ikut organisasi

Terlalu berkutat dengan perkuliahan, banyak mahasiswa yang merasa keteteran dan tidak memiliki cukup waktu untuk berkegiatan di luar akademik. Padahal dengan mengikuti organisasi, ada beragam manfaat yang bisa diraih. Kita bisa berkenalan dengan mahasiswa jurusan lain bahkan luar kampus. Selain itu, biasanya rekan organisasi menjadi sosok pertama yang akan membantu kita saat ditimpa musibah.

3. Terperdaya dengan kalimat ‘IPK Bukan Segalanya’

Sebaliknya dari poin kedua, mahasiswa golongan ini selalu mendewakan kegiatan diluar akademik. Biasanya mahasiswa tersebut sering disebut sebagai aktivis kampus atau organisatoris. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam berorganisasi, tetapi harus dalam batas wajar.

Kaum aktivis kampus ini biasanya termakan dengan ucapan senior yang mengatakan bahwa IPK tidak perlu terlalu tinggi. Pada akhirnya mahasiswa jenis ini akan rela meninggalkan kegiatan perkuliahan dengan titip absen demi menjalankan rapat proker (program kerja) organisasi.

Penyesalan mulai timbul ketika mendekati ujian akhir skripsi, biasanya mereka ini akan kesulitan memahami materi penelitian karena sering meninggalkan kelas. Setelah lulus, juga sulit mengaplikasikan ilmu kuliah pada bidang pekerjaan. Sementara itu, karena IPK pas-pasan, mereka juga akan dibuat bingung karena gagal melewati tahap administrasi seleksi kerja atau beasiswa.

4. Jarang pergi ke perpustakaan

Perpustakaan selalu identik dengan tempatnya orang-orang pintar. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki kebiasaan membaca, perpustakaan dianggap sebagai ruangan yang membosankan. Mereka hanya sesekali datang ke perpustakaan, itupun karena terpaksa untuk mencari referensi dalam mengerjakan tugas.

Padahal, di perpustakaan kampus tidak hanya menyediakan buku-buku berkaitan dengan perkuliahan saja. Namun biasanya banyak pilihan bacaan yang tersedia dan cukup membuka pikiran mahasiswa agar lebih berpikir kritis. Bukankah mahasiswa adalah agent of change yang seharusnya mempunyai pengetahuan yang luas? Lantas mengapa malas pergi ke perpustakaan?

5. Tidak pernah ikut kegiatan kerelawanan

Menjadi relawan selalu dikaitkan dengan KKN (Kuliah Kerja Nyata), yang menjadi bagian perkuliahan. Namun, ada beberapa kampus yang telah menghapus program KKN untuk mempersingkat waktu perkuliahan. Karena hal inilah, banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa KKN hanya sebatas formalitas untuk menjalankan satu aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian.

Padahal dengan menjadi volunteer (relawan), mahasiswa bisa membentuk diri menjadi seseorang dengan tingkat sosial yang tinggi. Menjadi relawan, bisa mengajarkan diri untuk selalu bersyukur dan bermanfaat kepada sesama. Selain itu, menjadi relawan juga dianggap sebagai nilai tambah di mata HRD (Human Resource Development) perusahaan.

6. Tidak magang secara mandiri

PKL (Praktik Kerja Lapang) atau Magang merupakan sebuah kewajiban bagi mahasiswa agar dapat melanjutkan ke tahap selanjutnya (skripsi/tugas akhir). Sayangnya, bagi beberapa mahasiswa, PKL hanya dianggap sebagai tugas bahkan beban supaya mendapatkan nilai A semata. Alhasil, banyak mahasiswa yang asal-asalan dalam melaksanakan PKL dengan seadanya hanya untuk menggugurkan kewajiban.

Selain itu, di waktu libur semester kampus yang bisa berbulan-bulan. Banyak mahasiswa yang memanfaatkannya untuk pulang kampung melepas rindu kepada keluarga. Daripada membuang waktu sia-sia hanya untuk bermalas-malasan di rumah, lebih baik gunakan kesempatan untuk melaksanakan magang secara mandiri.

Alih-alih membawa nama instansi (kampus), magang mandiri merupakan inisiatif diri-sendiri. Dengan magang mandiri, tidak hanya ilmu yang didapat. Tetapi juga bisa menambah isi portofolio, kadang juga mendapatkan honor, dan relasi untuk pekerjaan di kemudian hari. Jika kinerja kita baik di mata perusahaan, bukan hal mustahil apabila nanti kita diminta untuk menjadi karyawan tetap.

7. Tidak menjalin relasi dengan senior dan dosen

Beberapa mahasiswa hanya menganggap senior sebagai kakak di kampus yang harus dihormati. Alhasil interaksi mereka hanya sebatas antara senior dan junior. Sementara itu, adapula dosen yang dianggap hanya sebagai pengajar.

Padahal, jika kita pintar-pintar membangun relasi dengan senior maupun dosen, akan ada banyak manfaat yang bisa diraih di masa depan. Senior bisa menjadi media pemberi informasi lowongan pekerjaan. Sedangkan dosen bisa menjadi perekomendasi untuk beasiswa.

Itulah penyesalan yang sering dialami mahasiswa setelah lulus. Sebelum menyesal, coba renungkan sudah sejauh apa pencapaian yang telah kamu raih selama menjadi mahasiswa?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak