Wajah Semesta Akademisi Kita: Mengutamakan Kedekatan Fana

Hernawan | Mohammad Azharudin
Wajah Semesta Akademisi Kita: Mengutamakan Kedekatan Fana
Ilustrasi Belajar (Pexels/Max Fischer)

Selama ini pendidikan dipandang sebagai entitas yang penting dan harus mendapat porsi perhatian yang besar. Pendidikan digadang-gadang sebagai salah satu jalur yang bisa menuntun pada kesejahteraan dan kemajuan peradaban. Akan tetapi, kalau melihat jumlah sarjana pendidikan di Indonesia, berapa persen sih yang dapat gaji layak dan hidup sejahtera?

Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengungkapkan bahwa gaji guru honorer lebih kecil dari gaji ART. Lah? Berarti dalam kasus tersebut pendidikan bukan menuntun pada kesejahteraan dong? Malah menambah jumlah masalah negara jadi makin banyak, kayak utangnya.

“Eh, Astaghfirullah! Nggak boleh kayak gitu. Sebagai warga negara yang baik, harusnya terus berdoa supaya utang negara bisa dilunasi, dan taat membayar juga pastinya meskipun ujung-ujungnya udah tahu uang itu larinya ke mana”.

Jika dilihat dari sudut pandang lain, pendidikan di Indonesia sebenarnya nggak seburuk yang dikatakan oleh beberapa pihak. Memang benar, survei dari PISA (Programme for International Student Assesment) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 74 dari 79 negara.

Skor rata-rata (mean) dari 79 negara peserta survei PISA adalah 487 untuk membaca dan 489 untuk matematika dan sains. Indonesia? Berada di bawah itu semua. Skor Indonesia untuk membaca adalah 371, matematika 379, dan sains 396.

Menjengkelkan? Mungkin. Memalukan? Iya. Mengecewakan? Tentu saja. Namun pernah nggak sih tebersit dalam kepala kalian, kenapa sih yang dijadikan standar pengukuran cuma membaca, matematika, dan sains?

Barangkali kita lupa (atau bahkan mungkin belum tahu) bahwa jenis kecerdasan manusia itu tidak tunggal. Howard Gardner dan Elisabeth Hobbs merinci jenis kecerdasan manusia yang meliputi:

  • Verbal-linguistik (kata-kata)
  • Logika-matematika
  • Spasial (dekorasi, arsitektur, lukisan)
  • Gerak-kinestetik (kayak Ronaldo misalnya)
  • Musikal
  • Intrapersonal (pendengar yang baik saat kita curhat padanya)
  • Interpersonal (contohnya adalah ketua ormas)
  • Naturalis (peka terhadap lingkungan)
  • Eksistensial (mampu memaknai makna hidup, kematian, dan sebagainya kayak Lord Raiden dalam Mortal Kombat itu lho).

Nah, gimana? Sebenarnya masih banyak kan yang nggak dijadikan standar keberhasilan pendidikan oleh PISA. Jadi, yah sesungguhnya pendidikan kita nggak seburuk yang dikatakan orang-orang itu kok.

Namun, terlepas dari itu, pendidikan kita memang sebenarnya menyimpan segudang masalah. Bukan! Ini bukan bicara soal pendidikannya, tapi bicara soal orang-orangnya.

Banyak praktik-praktik nggilani yang bikin banyak orang geram. Misalnya, praktik penerimaan beasiswa jalur orang dalam. Ya...kalo yang diterima lewat jalur itu punya prestasi atau benar-benar dari keluarga kurang mampu, oke, nggak masalah.

Akan tetapi, bagaimana kalau sebaliknya? Kan berandalan tenan. Itu kan uang rakyat, buat membantu mereka yang layak dapat, malah nggak diberikan pada yang semestinya. Angel, angel!

Wakil rakyat korupsi, akademisi korupsi, tetapi ketika rakyat telat bayar pajak, nggak dimaafkan sama sekali. Padahal bisa saja rakyat telat bayar pajak karena memang benar-benar sedang nggak punya uang. Risiko hidup di negara yang wakil rakyatnya bermental inlander.

Nggak cuma itu. Praktik mendahulukan orang dalam ternyata juga berlaku saat pengajuan judul skripsi. Saya dapat banyak cerita bahwa mereka yang dekat dengan kaprodi itu langsung di-ACC judulnya waktu pertama kali mengajukan. Tanpa revisi, tanpa ditanya penelitian ini bagaimana nanti.

Di sisi lain, ada sebagian orang yang padahal jelas dan nyata banget berkontribusi dalam akreditasi prodi, malah dengan mudahnya dilupakan. Mereka sudah menyumbang banyak sertifikat dan penghargaan buat ndongkrak akreditasi prodi, tetapi waktu mengajukan judul skripsi dipersulit.

Kebanyakan manusia utamanya yang ‘merasa’ punya jabatan tinggi memang kayak gitu sih. Saat butuh datang, kalau udah dibantu mendadak amnesia.

Hal yang hampir sama seperti itu juga tengah dialami oleh ‘doi’. Ndilalah dia ketemu dosen yang seenaknya sendiri, tingkat dewa. Dosen tersebut sering nyuruh ‘doi’ bikin PPT. Deadline-nya nggak masuk akal, jumlah slide-nya pun sama nggak ngotaknya. Nggak hanya PPT, ‘doi’ juga disuruh untuk ngerjain beberapa tugas dosen dengan tingkat kesulitan yang lumayan tinggi. Feedback-nya apa? Cuma ucapan ‘terima kasih’ dan ketidaksadaran atas sikapnya itu. 

Wajah semesta akademisi kita memang seperti itu; mengutamakan kedekatan yang fana, menomorduakan mereka yang punya prestasi dan kontribusi nyata.

Memang benar apa yang dikatakan mas Agus Mulyadi, “Dulu kalo kita denger kata ‘dosen’ pasti terbayang orang yang pinter dan berwibawa, tapi ternyata sekarang sudah terbukti bahwa nggak semua dosen itu pinter dan berwibada. Ada juga dosen yang menerapkan praktik kriminal dalam seleksi beasiswa, bahkan ada juga dosen yang entah mereka sadar atau nggak begitu mudahnya melupakan mereka yang telah membantunya.”

Sekarang, sepertinya semboyan pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara perlu diamandemen supaya sesuai dengan realita zaman. Amandemen tersebut bila terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jadi begini, “Di depan memberi teladan; Di tengah membangun kemauan; Di belakang lewat jalur orang dalam”.

Terakhir, saya setuju dengan dawuh dari Patrick Star, “Hidup itu tidak adil. Jadi biasakanlah dirimu!”.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak