Akhir-akhir ini, kita disibukkan dengan pemberitaan di linimasa tentang kasus kekerasan perempuan Indonesia terutama selama Pandemi Covid-19. Grafiknya meningkat tajam karena dalam satu semester 2021 saja jumlah kasus melampaui sepanjang tahun 2020. Ibu, istri, anak-anak bahkan saudara-saudara perempuan kita selalu dalam ancaman berada di lingkungan seperti itu.
Hal itu baru yang dilaporkan, bagaimana dengan korban yang takut melapor? Rasanya jumlahnya bisa jauh lebih tinggi. Sebagai penyintas tidak mudah menghadapi munculnya berita-berita kekerasan seksual, rasa cemas, rasa bersalah dan bodoh karena tidak bisa melindungi diri sendiri di masa lalu. Saat ini, hanya bisa berharap semoga para penyintas kekerasan seksual mendapatkan dukungan dan support dari berbagai pihak sehingga bisa menjalani hidup dengan tenang.
Melihat fenomena di atas, tiba-tiba lamunanku melayang jauh pada satu masa ketika saya masih bekerja sebagai perwira kapal niaga. Pada paruh 2000 saya tinggalkan profesi kepelautanku setelah hampir 10 tahun saya geluti. Tentu bukan perkara mudah untuk move on kalau bukan karena putri kecilku lahir dan masih membutuhkan pendampingan bapaknya.
Pengalaman bekerja di atas kapal telah membentuk seseorang berjiwa tangguh, tidak cengeng, disiplin, pemberani, dan “terbiasa” dengan kondisi alam. Semangat kesetiakawanan dan kesetaraan kru dengan kapal terbentuk seiring saling membutuhkan satu dengan lainnya. Kru dilindungi oleh kapal dan sebagai imbal baliknya kru merawat kapal dengan sebaik-baiknya.
Layaknya hubungan suami istri, kapal diibaratkan perempuan cantik yang dikelilingi oleh pelaut yang mayoritas pria. Itulah mengapa pelaut memanggilnya she atau dia (perempuan). Secara umum kapal jika dilihat dari depan membentuk pinggang yang ramping yang membutuhkan pengecatan untuk mempercantik diri.
Kru perlu melakukan perawatan kapal secara berkala agar tidak tampil apa adanya meskipun memerlukan biaya yang besar. Kapal membutuhkan nahkoda pria berpengalaman sebagai kepala rumah tangga untuk mengendalikan pelayaran secara benar. Kapal akan menunjukkan bagian atasnya sekaligus menyembunyikan bagian bawahnya ketika tiba di Pelabuhan untuk bertambat.
Secara historis pemilik kapal adalah laki-laki, ia akan memberi nama kapal-kapalnya dengan nama wanita yang dianggap berjasa dalam hidupnya, istri, pacar atau ibu. Praktik penamaan perahu dan kapal dengan nama perempuan terus berlanjut hingga hari ini, meskipun tentu tidak secara eksklusif, seperti halnya kebiasaan feminisasi kapal layar kita.
Kapal juga didedikasikan sebagai dewi, atau wanita fana yang memiliki signifikansi sejarah nasional. Tujuannya untuk memberikan semangat feminin yang baik hati pada kapal yang akan membawa pelaut dalam menghadapi berbagai rintangan. Linggi haluan kapal berbentuk bullbus bow sering digambarkan sebagai perempuan hamil besar, dan palka kapal diibaratkan perut perempuan yang setiap saat melahirkan ketika kegiatan membongkar muatan dari perut palka ke dermaga.
Personifikasi nasional negara-negara dalam bentuk perempuan telah sangat populer selama bertahun-tahun, terutama dalam konteks propaganda perang sekaligus menumbuhkan semangat patriotisme. Untuk mempersonifikasikan sebuah negara dalam bentuk perempuan, baik secara linguistik maupun simbolis, sekarang menjadi semacam anakronisme. Terlepas dari penamaan penyakit, angin, topan, badai, dan kekuatan alam lainnya yang anti gender, kita masih memberikan nama planet bumi sebagai inti keberadaan dengan simbol pemberi kehidupan yaitu, ibu pertiwi.
Sesungguhnya masyarakat di kapal adalah sekelompok pria dengan kehidupan pelaut yang keras. Peran kapal sebagai pelindung seluruh kaum pria dari gelombang, hujan, bahkan badai sekalipun. Suasana saling membutuhkan memunculkan kesetiakawanan dan kesetaraan diantara mereka di setiap keadaan.
Sebuah kapal ketika akan meninggalkan Pelabuhan sejam sebelum kapal menyiapkan segala sesuatu termasuk permesinan. Begitu juga seorang ibu, dia akan bangun pagi-pagi buta sebelum suami dan anak-anaknya terbangun. Dan, ibu akan memberitahu suami dan anggota keluarga ketika seluruhnya telah siap, ibu pun akan tetap memantau hingga keluarganya pulang dalam keadaan selamat.
Selama menunggu keluarga pulang, rumah akan dijaga ibu dengan sepenuh hati agar terhindar dari bahaya mengancam, ibu dan rumah menjadi satu kesatuan sebagaimana ibu dan kapal. Kapal pun perlu bersolek dan sesekali mengeluarkan asap jika perawatannya dirasakan belum maksimal. Jika perawatan baik kapal akan bertahan dengan kuat hingga masa pakainya berakhir.
Bagaimana menyikapi keindahan tubuh wanita di depan kita? Hal ini sama halnya kita melihat dari belakang sebuah kapal sedang berlayar. Kapal memiliki ekor kipas yang lucu, pantat ganda agar menuntut perhatian kita. Saat posisi mengejar, kapal disyaratkan membunyikan suling dan jika tidak ada jawaban, maka kita diwajibkan memberi bantuan jika dibutuhkan.
Jika kapal lain tidak stabil, jangan menambah beban kapal tersebut agar keduanya dapat diselamatkan dari risiko kecelakaan yang lebih besar. Kendalikan kemudi secara benar untuk mempertahankan kapal dalam mengurangi risiko. Tanpa kita sadari, ini adalah praktik-praktik kesetiakawanan sosial antara kapal satu dengan lainnya karena mereka menyadari ketika terjadi pengabaian kesalahan kapal lain artinya kapal kita berkontribusi dalam kecelakaan.
Sebenarnya diskusi global tentang kesetaraan gender telah berlangsung selama satu abad lebih, tapi dengan meningkatnya kasus-kasus kekerasan perempuan akhir-akhir ini, rasanya perlu menggali kembali komunitas tertentu yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kewanitaan sebagai perenungan. Saya tidak ingin mengubah sesuatu, melainkan hanya menyuarakan bahwa sesungguhnya kesetaraan itu indah.