Definisi perubahan iklim, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), merujuk pada pergeseran pola temperatur dan cuaca secara jangka panjang. Pergeseran ini wajar terjadi secara alamiah karena variasi siklus matahari. Akan tetapi, sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama melalui pembakaran bahan bakar fosil dan gas bumi.
Revolusi Industri yang terjadi pada akhir 1800-an menjadi awal mula aktivitas pembakaran bahan bakar fosil secara besar-besaran. Hasil dari pembakaran inilah yang menyediakan cukup energi bagi rumah-rumah, industri, dan transportasi terus berjalan. Sayangnya, pada kurun abad yang sama, peneliti menemukan bahwa karbon dioksida memiliki potensi untuk menaikkan suhu secara global. Dari studi yang dilakukan pada 1900-an, tercatat bahwa kandungan karbon dioksida terus mengalami kenaikan, dengan mayoritas karbon yang terlacak berasal langsung dari pembakaran bahan bakar fosil.
Mengapa penting membicarakan perubahan iklim? Laporan oleh U.N Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam The Conversation memperingatkan bahwa aktivitas manusia jelas-jelas telah menghangatkan planet bumi dan perubahan iklim telah meluas, cepat, dan intensif. Peneliti IPCC memaparkan bagaimana perubahan iklim menjadi penyebab terjadinya cuaca ekstrim, banjir, gelombang panas, kekeringan, punahnya spesies, melelehnya lapisan es dan naiknya permukaan air laut. Sekretaris Jenderal UN, António Guterres, hingga menyebutnya “kode merah bagi manusia.”
Lalu, apa penyebab perubahan iklim terjadi? Untuk menjawab ini, artikel oleh Betsy Weatherhead memaparkan bagaimana perubahan iklim terjadi beserta hal-hal yang perlu diketahui, dari sudut pandang sains:
Gas rumah kaca
Fokus utama dalam membicarakan perubahan iklim adalah karbon dioksida, yaitu gas rumah kaca yang dihasilkan ketika bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas bumi terbakar. Tidak hanya itu, penyebab dihasilkannya gas rumah kaca juga termasuk di dalamnya karena kebakaran hutan, alih fungsi lahan, dan sumber daya alam.
Ketika sampai di atmosfer, karbon dioksida cenderung untuk tertinggal di sana dalam waktu lama. Sebagian karbon dioksida yang dilepas melalui aktivitas manusia akan terserap oleh tumbuhan, beberapa yang lain diserap laut. Sayangnya, separuh dari seluruh karbon dioksida yang dilepas oleh aktivitas manusia masih tersisa di atmosfer, mempengaruhi siklus iklim secara global.
Gas rumah kaca dan pengaruhnya terhadap iklim
Berbagai bukti ilmiah telah mendukung dugaan bahwa kenaikan emisi gas rumah kaca dalam jangka panjang adalah faktor pendorong terjadinya perubahan iklim, di antaranya: Pertama, sifat karbon yang dapat terperangkap di atmosfer. Kedua, model sederhana yang dibuat untuk mengetahui dampak karbon dioksida di atmosfer cocok dengan data histori perubahan suhu global. Ketiga, catatan jangka panjang pada inti es, koral, dan lingkar pepohonan menunjukkan bahwa ketika kandungan karbon dioksida tinggi, maka suhu juga ikut tinggi. Keempat, Venus yang atmosfernya dipenuhi karbon dioksida merupakan planet terpanas di tata surya kita, meskipun ia tak lebih dekat ke matahari ketimbang Merkurius.
Suhu naik di setiap benua
Kenaikan suhu adalah bukti nyata yang tercatat di setiap benua dan samudera, walau tingkat kenaikannya tidak sama di semua tempat. Berbagai faktor turut mempengaruhi kenaikannya, seperti penggunaan lahan yang berpengaruh pada bagaimana radiasi matahari terserap atau terpantul kembali.
Misalnya, kenaikan suhu 3 kali lebih cepat dari rata-rata global terjadi di Kutub Utara. Hal ini sebagian dikarenakan pemanasan yang menyebabkan salju meleleh menyebabkan permukaan bumi menjadi cenderung menyerap radiasi daripada memantulkannya.
Efeknya terhadap planet
Studi menemukan bahwa kenaikan suhu telah mempengaruhi presipitasi, gletser, pola cuaca, aktivitas siklon tropis, dan badai. Banyak studi juga menemukan bahwa meningkatnya frekuensi dan durasi gelombang panas telah berefek pada ekosistem, agrikultur, dan kehidupan manusia.
Sejarah telah mencatat pula bahwa permukaan laut secara konsisten mengalami kenaikan selama lebih dari 150 tahun terakhir, seiring dengan melelehnya es dan gletser. Para ilmuwan berusaha keras untuk memprediksi perubahan apa yang bakal terjadi di masa mendatang terkait meningkatnya kandungan karbon dioksida, seperti dampaknya pada populasi penduduk dunia.
Solusi tak sederhana
Bagaimana dunia menghadapinya? Pada 1992, berbagai negara menyepakati perjanjian internasional yang disebut dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Perjanjian ini, bersama dengan Paris Agreement, menjadi aturan dasar dalam kerjasama internasional melawan perubahan iklim. Perkembangan terkait perubahan iklim dipantau dengan 3 garis besar aksi, yakni mengurangi emisi, adaptasi dengan perubahan iklim, dan pembiayaan yang sesuai kebutuhan.
Solusi terpopuler untuk masalah ini seringkali jatuh pada penggunaan energi alternatif non-fosil, peningkatan teknologi ramah lingkungan, dan konsumsi energi yang lebih efisien (hemat). Lalu, apa memang semudah itu? Tentu tidak, solusi seperti ini sayangnya jarang menyentuh dimensi konteks yang dialami tiap-tiap negara.
Video dalam channel YouTube Kurzgesagt, dengan sangat baik berhasil menjelaskan dimensi yang dilupakan dalam menghitung akumulasi karbon yang diproduksi tiap negara, berpengaruh pada pertanyaan “siapa yang paling bertanggung jawab dalam perubahan iklim?” Dimensi ini di antaranya adalah akumulasi secara historis, akumulasi berdasarkan total emisi per jumlah individu, dan semakin mudahnya akses terhadap peralatan elektronik dan transportasi.
Ongkos yang dibutuhkan dalam upaya melawan perubahan iklim dan pemanasan global memang tidaklah sedikit. Tetapi, tindakan tetap harus dilakukan, suka atau tidak. The New York Times, dengan cukup jelas memaparkan perbandingan besarnya kerugian finansial yang bakal dialami dengan melakukan investasi melawan perubahan iklim dengan tidak berinvestasi sama sekali. Kemampuan dan kemauan politis untuk bergerak dan bertindak tiap lembaga setingkat negara hingga level terendah setingkat individu sangat dibutuhkan.