Unik, menarik, khas, kekinian, dan langsung menjadi pusat perhatian warganet terutama kaum hawa. Begitulah kesan yang dapat saya simpulkan ketika melihat penampilan, gaya bicara, dan berbahasa Mark Natama, juara kedua dalam program Indonesian Idol 2021 musim kesebelas yang ditayangkan oleh stasiun RCTI. Bisa dibilang, pemuda yang akrab dipanggil Tama ini memiliki paket lengkap di dunia hiburan tanah air. Selain dikaruniai wajah menawan, ia juga memiliki suara yang sangat merdu, bahkan menurut saya ia layak menyandang juara pertama Indonesian Idol.
Mark Natama, sebagaimana dilansir Dadan Muhanda dalam Ayocirebon.com pada 26 April 2021, mempunyai prestasi akademik dan karier moncer. Pemuda 20 tahun bernama lengkap Mark Natama Saragi ini masih berstatus mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di usianya yang masih muda, ia sudah punya lagu sendiri dan tersedia di aplikasi musik berbayar. Ia mengawali kecintaannya di dunia tarik suara sejak masa sekolah dan menjadi kebanggaan sekolahnya untuk lomba menyanyi tingkat kabupaten hingga provinsi.
Selain bersuara merdu, ada hal unik yang selama ini melekat kuat pada sosok Mark Natama. Keunikan tersebut ada pada gaya bertutur (berbahasa) ketika berinteraksi dengan orang lain. Ia kerap menggunakan kata tanya “bisa nggak?” ketika melihat sesuatu atau ketika melakukan percakapan.
Misalnya, ketika ia mengunggah video di akun Instagramnya yang sedang naik mobil bersama sopir pribadinya, tiba-tiba ada suara klakson yang cukup keras dari kendaraan lain dan sontak membuatnya kaget. Reaksinya langsung tersenyum, nyengir, lalu berucap spontan, “Bisa nggak jangan emosi, aah... memancing emosi, mobil-mobil Jakarta memancing emosi.”
Begitupun ketika Mark Natama tengah bertanya kepada sopir pribadinya, apakah punya akun Instagram atau tidak, ia juga menggunakan kata “bisa nggak?” dengan begitu polos dan gokilnya. Seperti ini percakapannya: “Bapak punya Instagram nggak, sih?” tanya Mark. Pak sopirnya lantas menjawab, “Nggak punya.” Lalu dijawab lekas-lekas oleh Mark Natama, “Bisa nggak bikin Bapak...,”
Ketika menyapa teman kuliahnya pun Mark Natama biasa menggunakan kata ‘bisa nggak’ yang sepertinya telah melekat kuat dalam kamus percakapannya. “Memel udah belajar belum, bisa nggak jujur?” begitu katanya saat menyapa Memel, salah satu teman kuliahnya. Pada saat membaca komentar netizen, Mark Natama juga menggunakan bahasa khasnya yang unik dan kocak tersebut. “Kak Dungki, bisa nggak emoticon-nya lebih sopan dan senonoh,” ujarnya saat mengomentari komentar salah satu netizen yang mungkin baru saja mengirimkan emoticon atau gambar yang dirasa kurang sopan.
Gaya berbahasa Mark Natama sontak menjadi gurauan dan diikuti oleh para penggemarnya. Terlebih dari kalangan perempuan muda. Misalnya ketika ia memposting foto dengan rambut gondrong di akun Instagramnya, para netizen langsung membanjirinya dengan komentar. Adalah @tataaays, salah satu netizen yang berkomentar menggunakan gaya berbahasa Mark Natama. Begini komentarnya, “Bisa nggak belajar Tama, jangan malah berimajinasi gondrong.”
Cukup menarik menyorot keunikan gaya berbahasa Mark Natama yang selain ceplas-ceplos juga kerap menggunakan “kata tanya” yang menurut pengamatan saya hanya untuk membuat obrolan dengan orang lain terasa lebih hangat dan cepat akrab. “Itu semacam kalimat tanya yang tidak membutuhkan jawaban, semacam majas retoris, kalimatnya disebut retorika, sudah tahu jawabannya tapi tetap dipakai juga,” begitu pendapat teman saya, Adi Zamzam, cerpenis nasional kelahiran Jepara, saat saya mengobrolkan fenomena “kata tanya” yang biasa digunakan oleh Mark Natama tersebut.
Wikipedia mencatat, retoris adalah salah satu jenis majas dalam Bahasa Indonesia. Majas retoris atau retorik berbentuk kalimat, berbeda dengan majas lain selain majas alegori dan majas parabel yang berbentuk narasi, karenanya ada yang menyebut kalimat retoris atau retorik. Retoris adalah majas yang berupa pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Karena jawaban atau maksud si penanya sudah terkandung dalam pertanyaan tersebut. Contoh: “Untuk apa kita berperang, bukankah sebaiknya kita berdamai?” Dalam kalimat ini sudah bisa dijelaskan bahwa sebenarnya opsi yang dipilih dalam keadaan tersebut adalah opsi damai dan tak ada opsi lainnya. Kalimat retoris sering dipakai untuk menegaskan suatu maksud, tanpa mengeliminasi kondisi yang sedang terjadi.
Sebagaimana kalimat yang dilontarkan oleh Mark Natama saat mendengar pekaknya bunyi klakson dari kendaraan lain, tepatnya ketika ia sedang naik mobil bersama sopir pribadinya. “Bisa nggak jangan emosi, aah... memancing emosi, mobil-mobil Jakarta memancing emosi.” Dalam kalimat yang terucap spontan dengan wajah riang tersebut, Mark Natama sebenarnya tak membutuhkan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkannya. Pula, ia tak hendak menafikan (mengeliminasi) kondisi atau suasana jalanan ibu kota yang memang seperti itu; selain kerap macet juga kebiasaan membunyikan klakson berulang-ulang dan sangat mengganggu. Tak hanya di ibu kota, kondisi jalan raya di sebagian kota lain di negeri ini juga seperti itu; membunyikan klakson berulang-ulang telah menjadi kebiasaan masyarakat kita, bahkan ketika mereka sedang berada di lampu merah. Saat lampu telah berganti hijau, para pengendara yang mengular itu seolah saling adu membunyikan klaskon, menyuruh pengendara di depannya agar melaju cepat.
Menurut saya, sah-sah saja cara berbahasa yang digunakan oleh Mark Natama yang cukup unik dan menarik tersebut. Terlebih bahasa khasnya telah berhasil menjadi semacam trend positif; penghubung yang akrab dan hangat ketika berinteraksi dengan sesama.
Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.