Kontroversi JHT, Jaminan 'Hingga' Tua?

Hernawan | wahyu prihartanto
Kontroversi JHT, Jaminan 'Hingga' Tua?
Serikat buruh di Kota Makassar menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Rabu, 16 Februari 2022. Menolak aturan baru soal JHT BPJS Ketenagakerjaan [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

Gelombang Covid-19 di Indonesia, bahkan dunia, telah memasuki kali ketiga. Meskipun konon kabarnya tidak segarang lainnya, kedatangan omicron layak juga kita waspadai, apalagi secara rerata kunjungannya hampir bersamaan dengan masa berakhirnya vaksin kedua. Pandemi hampir berimbas ke segala sektor termasuk masalah ketenagakerjaan, dan hal ini ditandai dengan besarnya jumlah tenaga hingga ratusan ribu orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Belum genap enam bulan lalu, sebuah pabrik tekstil yang terletak hanya beberapa ratus meter dari tempat tinggal kami, merumahkan ratusan pekerjanya yang didominasi ibu-ibu. Secara kebetulan tetangga sebelah saya memiliki pekarangan cukup luas dan membuka jasa penitipan sepeda atau sepeda motor bagi siapapun. Hingga enam bulan lalu, di depan rumah dinas masih tampak lalu lalang karyawan setelah menitipkan sepeda, lalu berjalan kaki menuju pabrik. Meskipun setelah enam bulan hingga saat ini sepi, hanya menyisakan Satpam Pabrik yang piket secara bergantian.

Mereka adalah para ibu yang memilih indekost di sekitar pabrik meninggalkan keluarganya di desa. Sebagian yang lain “terpaksa” kredit sepeda motor agar bisa pergi pulang setiap hari untuk bertemu keluarga. Pak Satpam, pada minggu-minggu pertama pasca PHK masih full piket dari shift pagi ke pagi, tapi sudah sebulan terakhir, Pak Satpam piket pagi saja, mungkin khusus terima tamu yang mau ambil alih pabrik seperti terpampang di papan pengumuman pabrik.

Saya sendiri sulit membayangkan keluarganya bisa makan atau tidak selama tulang punggungnya belum bekerja. Ibu-ibu maupun bapak-bapak satpam yang dirumahkan rata-rata memiliki rentang usia 20-30 dan 30-40 tahun. Situasi semakin tidak menguntungkan ketika pemerintah mengeluarkan batas waktu pengambilan Jaminan Hari Tua (JHT) setelah pekerja berusia 56 tahun. Dengan kata lain, para korban PHK baru bisa nge-claim jaminan 16 sampai dengan 26 tahun kemudian.   

Meskipun dengan alasan mengembalikan fungsi penggunaan setelah hari tua, para pekerja mempertanyakan bagaimana nasib mereka selama masa tunggu? Alih-alih untuk modal usaha, buat makan sehari-hari saja susah. Para pekerja merasa tidak pernah diajak bicara sebelumnya sehingga keputusan yang diambil adalah keputusan sepihak. Memang, sebagian kecil perusahaan ada yang menerapkan program pelatihan pekerja terdampak, meskipun perusahaan tidak bisa memastikan bidang usaha yang akan digeluti pekerja selanjutnya serta keterbatasan permodalan.

Di tengah kondisi pandemi yang tidak menentu berdampak pada perlambatan ekonomi. Bidang usaha yang menyerap tenaga kerja besar “terpaksa” harus merumahkan ratusan hingga ribuan pekerja. Dana jaminan hari tua menjadi harapan satu-satunya untuk menyambung hidup mereka agar terhindar dari jurang kemiskinan.

Bagi perusahaan semestinya tidak dirugikan karena claim yang diajukan merupakan simpanan dana yang dihimpun dari para pekerja dengan menyisihkan sebagian gaji setiap bulan. Barangkali hal itu yang membuat para pekerja geram hingga berujung pada penuntutan pencabutan keputusan tersebut. Dan, gerakan ini kelihatannya mendapat simpati dari masyarakat luas dengan memberikan dukungan moril dari berbagai kota di Indonesia. 

Secara sederhana, sebuah usaha akan terjadi jika terdapat iklim usaha yang sehat. Peraturan yang berpihak, situasi berusaha yang aman serta terciptanya persaingan usaha yang sehat menjadi kewajiban Pemerintah untuk mewujudkan, karena telah menjadi amanat dalam UUD 1945. Selain hal itu, kondisi-kondisi tersebut juga perlu diwujudkan mengingat keterbatasan anggaran pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan atau konkritnya masih dibutuhkan dukungan sektor swasta. 

Dalam menuju iklim usaha yang sehat, dibutuhkan rambu-rambu yang membatasi warga negara melampaui hak dengan mengabaikan hak orang lain. Pemberian sanksi kepada para pelanggar ketentuan akan berdampak pada pencabutan hak warga negara. Karenanya, kebebasan yang absolut tidak bisa menciptakan iklim usaha yang sehat dan tanpa disadari akan merugikan warga negara secara luas.  

Jika jaminan hari tua adalah hak kepemilikan pekerja yang dititipkan ke perusahaan, maka secara tidak langsung perusahaan meminjam dana dari pekerja yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh pemiliknya. Definisi “meminjam” bisa saja sumir karena pada umumnya dana tersebut jumlahnya sangat besar, maka biasanya perusahaan menggandeng lembaga keuangan atau asuransi yang dapat dipergunakan untuk biaya operasional perusahaan selama belum diambil pemiliknya. Dampak positif dari hubungan industrialis seperti ini, adalah perusahaan akan berusaha semaksimal mungkin menciptakan kondusifitas pengusahaan, agar pekerja tetap betah dan bekerja di perusahaan hingga batas usia pensiun.

Tingkatan keluarga Indonesia pra-pra sejahtera, pra sejahtera, dan sejahtera masih menjadi fenomena di negeri kita. Sebuah negeri yang konon ceritanya gemah ripah loh jinawi ternyata masih banyak warga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Alih-alih memiliki tempat tinggal yang layak dan sekolah tinggi, sementara mereka harus diberhentikan tanpa jaminan hidup dan hanya bisa berunjuk rasa.  

Ketimpangan pemberlakuan antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja dalam negeri juga menjadi sorotan masyarakat secara khusus. Di tengah berlangsungnya PHK di mana-mana, nyatanya tenaga kerja asing masing lalu lalang memasuki lapangan pekerjaan kita secara nyata “terkesan” bebas. Kecemburuan-kecemburuan semacam ini diakui juga turut memicu gelombang protes dari segenap lapisan masyarakat. 

Mungkin, salah satu pertimbangan historis mengapa yang bisa diangkat menjadi Pemimpin Negara adalah Warga Negara Indonesia? Saya kira, erat kaitannya dengan masalah pembelaan terhadap komponen warga negara yang senasib dan sepenanggungan. Hal ini, diharapkan dapat diejawantahkan dalam pembelaan hak dasar warga negara, termasuk di dalamnya pekerja kantoran, guru, buruh pabrik, dan pekerja kasar lainnya.

Sekian, dan terima kasih.

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak