Selama ini kita selalu dibodohi oleh para politikus yang berebut kekuasaan. Salah satunya mereka melakukan money politic untuk mengontrol tangan kita agar menyoblos mereka. Saya sangat jengkel ketika menjadi boneka semacam ini. Bisa nggak sih sekali-kali gitu masyarakat yang membodohi politikus dengan menerima uangnya tapi tidak memilih mereka yang mempraktikkan money politic.
Dermawan itu Ada Tempatnya
Kita adalah masyarakat yang berbudaya politic money. Dikutip dari rumahpemilu.org, bahwa hasil survey dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Januari hingga Maret 2020, mengatakan bahwa 60 persen masyarakat akan menerima money politic. Bahkan sebagaimana yang dikutip dari aclc.kpk.go.id, bahwa survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019, mengatakan bahwa masyarakat menganggap pesta demokrasi itu sebagai ajang “bagi-bagi rezeki”. Gokil nggak sih, udah kayak tradisi banget.
Namun, sayangnya budaya ini tidak diiringi oleh kesadaran kritis masyarakat. Mereka sangat rentan untuk digocekin oleh para politikus. Akhirnya mereka hanya menjadi boneka yang mau “membalaskan budi” atas kucuran rejeki dari para politikus, dengan menyoblos mereka.
Ya, saya tau kalau Indonesia memang mendapatkan kehormatan menjadi negara paling dermawan di dunia, menurut World Giving Index (WGI) 2023, dengan skor 68 yang dikutip dari suara.com. Politikus dan masyarakat sama-sama dermawan dengan saling memberi sesuatu yang bagi masing-masing menguntungkan.
Tapi, ya jangan kebablasan juga dermawannya, karena saking dermawaannya bukan berarti mau diperalat oleh politikus. Dermawan tidak selalu bernilai baik, kalau dermawan ke penjahat apakah baik? Inilah yang dimaksud Nietzsche bahwa moralitas itu melampaui baik buruk. Dengan kata lain, moralitas itu tau tempat dan tau kondisi.
BACA JUGA: Habis KDRT Lalu Maaf-maafan? Tolong Sadarlah, Kamu Sudah Rugi Banyak
Membodohi Politikus sebelum Mereka Membodohi Saya
Saya tipe orang yang nggak mau diperalat begitu saja. Saya nggak mau jadi domba-domba yang tersesat, yang kemudian digiring sana-sini oleh anjing pengembala. Saya nggak mau itu, saya lebih suka menjadi seorang kancil, menjadi seorang Abu Nawas, yang cerdik, sesekali licik, tapi orientasinya untuk kebaikan.
Kalau boleh jujur, saya merupakan orang yang sangat menerima, tanpa basa-basi, pemberian dari para politikus yang berebut kekuasaan. Entah itu dari bentuk uang, maupun hanya sebatas kaos partai. Namanya juga dikasih, siapa sih yang nggak mau. Semuanya berharga dan semuanya adalah rejeki. Kalau kata seorang pujangga, nggak baik menolak rejeki itu.
Dan, dalam praktik pemberian politik itu, saya sangat-sangat tau betul apa maksud dan tujuannya, yang tentu saja untuk mendapatkan dukungan politik atas kepentingan kekuasaannya. Bahkan saya rasa semua masyarakat kita tau apa maksud dari politic money itu.
Namun, gegampangan saya menerima pemberian itu, tidak diiringi oleh tingkat akhlak balas budi saya terhadap “kedermawanan” orang-orang yang sedang berkepentingan itu. Ketika ada orang yang memberikan sesuatu dengan kepentingan politik pada saya, tentu akan saya terima, tapi tidak dengan mendukungnya ke singgah sana. Saya menerima “sedekah” dari berbagai kubu, tapi sama sekali saya tidak memilihnya. Pemberian mereka tidak menjadi pertimbangan saya memilih seorang pemimpin.
Apakah saya jahat? Tentu, tidak sama sekali. Saya hanya membodohi para elit, sebelum mereka membodohi saya ketika mereka benar-benar duduk di singgasana. Saya mengkorupsi mereka, sebelum mereka mengkorupsi uang pajak saya. Bahkan jika ada orang model saya dengan jumlah yang cukup besar, melakukan tindakan yang sama, sangat mungkin elit politik itu tidak dapat duduk di singgasana, yang ada mereka malah tekor biaya, dan nggak balik modal.
BACA JUGA: Mencoba Menyelami Mengapa IQ Orang Indonesia Rata-Rata Rendah, Ini Sebabnya
Menerima Money Politic Bukan Berarti Memilihnya
Inilah yang saya maksud di atas, dengan perspektif yang berbeda, bahwa akar permasalahan masyarakat kita itu terlalu totalitas berbalas budi, tanpa memilahnya dengan baik dan teliti. Boleh-boleh aja pemberian politik itu diterima dan itu sangat manusiawi, tapi bukan berarti menerima itu artinya juga sepakat dan berjanji akan memilih paslon yang diusung.
Kelemahan kita itu terlalu menjunjung tinggi moralitas. Kenapa bangsa kompeni, wong-wong londo itu gampang masuk ke negeri kita? Ya, awalnya kita terlalu menghormati, njawani, terlalu baik, terlalu menyambut hangat mereka, dan mereka memanfaatkan itu semua untuk menggobloki kita.
Begitupun dengan money politic, bahwa sebelum kita digobloki oleh elit, seharusnya kita menggobloki mereka terlebih dahulu, ala-ala April Mop. Sebelum kita diserang, sebaiknya kita serang terlebih dahulu, begitulah salah satu strategi perang yang barang kali bisa dilakukan oleh sipil dalam ranah kecamuk pesta demokrasi.
Saya sangat tau bahwa masyarakat kita itu adalah tipikal yang kalau dikasih itu mau-mau aja. Siapa sih yang nggak mau diberi pemberian sama orang lain. Kita sangat pragmatis, tidak bisa dipungkiri itu. Tapi, jangan lupa, kita harus cerdas, dan cerdik melebihi kecerdikan kancil mengelabuhi singa, agar kita nggak gampang digobloki.
Nah, kebetulan tahun depan 2024 itu udah mulai pesta demokrasi, barang kali ada yang tertarik dengan trik pengalaman saya, monggo di coba. Mari kita menggobloki elit sebelum kita digobloki. Kita adalah smart people, bukan goblok people. Atau bahkan ada yang sudah mempraktikkan apa yang saya lakukan? Kalian adalah individu-individu pilihan, yang cerdas dan cerdik, sehebat Abu Nawas.