Untuk ke sekian kalinya, tidak ada wakil Indonesia yang bertarung dalam sebuah event BWF. Event itu adalah French Open 2024 yang malam ini memasuki babak final. Chico Aura Dwi Wardoyo, satu-satunya wakil Indonesia di semifinak, kalah dari Shi Yuqi.
Sementara itu, China menempatkan 3 wakil, sedangkan Korea Selatan dan Jepang masing-masing 2 wakil. Dua sisa yang lain dimiliki India dan Thailand.
Muncul petanyaan, seperti inikah gambaran kekuatan bulutangkis dunia sekarang. Indonesia bukan lagi salah satu raksasa bulutangkis yang pada masa lalu begitu ditakuti. Namanya perlahan tapi pasti tergeser oleh negara lain, bahkan oleh Thailand.
Kenyataan ini jelas sebuah tamparan keras buat PBSI sebagai induk organisasi. Masih belum hilang dari ingatan badminton lovers, betapa tahun 2023 dunia bulutangkis Indonesia mengalami kemarau gelar.
Bahkan dalam ajang Asian Games yang selalu jadi harapan medali emas Indonesia, kali ini tidak berbuah medali. Hal yang sebetulnya sangat wajar, karena peta bulutangkis dunia memang ada di Asia. Sehingga ajang Asian Games tak ubahnya pertandingan tingkat dunia bagi cabang olah raga bulutangkis.
Sorotan tajam terutama pada nama-nama yang selalu menghiasi tim bulutangkis Indonesia dalam setiap turnamen. Terkesan nama-nama yang muncul itu saja, seperti di nomor tunggal putra. Nama Anthony Ginting dan Jonatan Chritie seolah nama yang tidak tergantikan.
Ironisnya, belakangan ini permainan keduanya tidak stabil. Baik Ginting atau Jojo sering terpeleset di babak awal. Dan terkadang oleh pebulu tangkis yang secara peringkat berada di bawahnya.
Memang harus diakui, sebagai pebulu tangkis kelas satu, segala gerak Ginting dan Jojo dievaluasi pihak lawan. Sehingga setiap lawan yang akan berhadapan dengan keduanya telah mengantongi segala kelemahan mereka.
Di sisi lain, Ginting dan Jojo tidak mampu berimprovisasi. Maka, tidak heran akhirnya mereka harus menerima kekalahan yang menyakitkan.
Ketika menyebut pemain pelapis, secara factual level permaian antara keduanya sangat jauh. Ketika harus terjun di turnamen besar, mereka belum mampu berbuat banyak, seperti Alwi Farhan contohnya.
Hal sama terjadi juga di sektor tunggal putri. Gregoria Mariska Tunjung seolah menjadi satu-satunya pemain tunggal putri Indonesia. Namanya selalu ada di setiap turnamen, namun prestasi yang dibuat tidak selalu bagus.
Sementara itu Putri KW, Tunggal putri yang digadang-gadang menjadi pelapis, tidak segera matang. Putri KW sering kalah menghadapi pemain sedikit level di atasnya.
Namun yang menjadi pertanyaan, hal ini tidak terjadi di negara lain. Mereka mempunyai stok pemain tunggal yang berlapis. Sehingga dalam setiap turnamen mereka dapat dengan mudah membagi pemainnya.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS