Perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan sepertinya masih terlampau panjang. Bila Kartini di masa lampau memperjuangkan pendidikan kaum perempuan dan kesetaraan gender, tugas penerusnya rasanya kian berat.
Rasanya ruang aman perempuan dalam kehidupan modern seperti sekarang kian sempit. Perempuan masih dihantui oleh stereotipe, ancaman, bahkan kehilangan nyawa saat mereka menjalin relasi di masyarakat atau lelaki. Sebagai negara yang dikenal santun, sopan dan ramah, rasanya sulit membayangkan pembunuhan keji terhadap perempuan.
Mengenang Marsinah
31 tahun yang lalu, Marsinah seorang buruh pabrik mati dibunuh dengan cara keji dan mengenaskan. Marsinah merupakan buruh di PT Catur Putra Surya, Sidoarjo Jawa Timur. Ia dibunuh dengan cara yang keji. Disiksa dan diperkosa, bahkan tulang panggulnya hancur. Tulang kemaluan kirinya patah. Marsinah memperjuangkan hak buruh hingga ajal menjemputnya.
Perjuangan kaum perempuan mempertahankan haknya di ruang publik belum menjadi kebebasan penuh. Masih banyak aktivis perempuan menyuarakan hak-haknya justru mendapatkan ancaman, sindiran, sinisme hingga teror.
Aktivisme dan juga gerakan yang dipimpin kaum perempuan di Indonesia masih menghadapi aneka stereotipe dari masyarakat. Kaum perempuan mestinya jadi konco wingking saja dengan 3M [Macak, Masak,Manak], sehingga ketika kaum perempuan memimpin demonstrasi, menyuarakan kebebasan berbicara dan hak-haknya cenderung malah dijauhi dan dianggap sebagai hal yang aneh.
Data kekerasan terhadap perempuan di Indonesia semakin hari justru semakin bertambah banyak. Komnas Perempuan mencatat pada periode November 2022 - Oktober 2023 terdapat 159 pemberitaan mengenai kematian perempuan yang terindikasi kuat sebagai femisida.
Apa yang dialami Marsinah dulu adalah contoh betapa femisida dilakukan dengan terang-terangan. Karena Marsinah seorang perempuan, seorang buruh yang melawan, Marsinah disiksa, diperkosa, dan dibunuh dengan cara yang keji. Marsinah dibunuh pada masa Orde Baru yang sampai saat ini belum diketahui pembunuhnya.
Biadab
Kekerasan terhadap perempuan yang dialami Marsinah dengan yang dialami perempuan saat ini belum berubah. Bila Marsinah dulu mengalami penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan karena protesnya terhadap hak-hak buruh, kali ini perempuan bisa dengan mudahnya dibunuh karena motif uang, asmara, dan juga kekuasaan.
Femisida, kasus pembunuhan perempuan atas dasar kekerasan berbasis gender menghantui Indonesia saat ini. Kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi momok menakutkan bagi perempuan.
Pada tahun 2023, ada sekitar 1141 kasus yang dilaporkan dengan 3 kasus tertinggi yaitu 497 kasus kekerasan seksual, jenis KDRT sebanyak 201, dan kekerasan dalam pacaran sebanyak 141 kasus.
Dalam relasi gender, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan berbasis gender hingga femisida. Relasi yang timpang ini harus terus diperjuangkan.
Ironi
Dalam banyak kasus femisida, yang menjadi pembunuh justru orang dekat (mantan suami, keluarga, hingga teman dekat). Kasus femisida terjadi saat perempuan dalam situasi sendiri yang membuat dirinya tidak bisa melakukan pencegahan atau melindungi diri saat kekerasan berlangsung.
Di tahun 2024 ini, bulan Mei, perempuan asal Bogor dibunuh saat kencan di Kawasan Kuta, Kabupaten Badung. Jenazah dibuang di dalam koper di Jimbaran, Kuta Selatan. Motif pembunuhan karena diminta membayar lebih layanan kencan komersial. April di tahun yang sama, perempuan ditemukan tewas di daerah Cikarang Barat, Bekasi. Pembunuhan didasari atas cekcok soal ajakan nikah.
Komnas Perempuan sendrii mencatat ada sekitar 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan juga mendorong segera disahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebelum 9 Mei 2024.
Femisida di Indonesia membuat kita harus terus berjuang untuk memperjuangkan relasi yang adil antara perempuan dan lelaki. Femisida juga menegaskan dan mengukuhkan perjuangan feminisme di Indonesia masih sangat panjang dan berat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS