Menyoal Kriminalisasi Ibu Supriyani: Saatnya Negara Hadir Melindungi Guru

Hikmawan Firdaus | hanifati radhia
Menyoal Kriminalisasi Ibu Supriyani: Saatnya Negara Hadir Melindungi Guru
Guru di Indonesia (pgrikotajogja.or.id)

Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Di dunia pendidikan baru-baru ini dikejutkan kasus seorang guru honorer perempuan bernama Supriyani, asal SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dituduh menghukum muridnya hingga terluka. Guru Supriyani bahkan dijadikan terdakwa serta ditahan, hingga kabarnya sempat diminta uang damai Rp50 juta oleh orang tua siswa tersebut. Usut punya usut, sang orang tua wali murid merupakan seorang oknum aparat. Kasus ini pun langsung menyita perhatian dan viral di media sosial. Hal ini jelas menyulut kemarahan seantero negeri khususnya pihak guru dan pendidik. Demonstrasi dari rekan sejawat sesama guru pun meluas dan tak terbendung di penjuru daerah.

Apa yang terjadi terhadap ibu guru Supriyani bukanlah hal baru. Guru di Indonesia kerap merasakan kekerasan hingga kriminalisasi dengan apa yang mereka jalankan sebagai pendidik. Sebut saja Aop Saopudin, seorang guru SMA di Majalengka, Jawa Barat. Aop bahkan  pernah merasakan kerasnya vonis pengadilan pada 2013 silam. Aop memperoleh vonis hukuman percobaan karena terbukti memangkas rambut siswanya dalam razia rambut gondrong di sekolah. Akan tetapi, pada 2014 Mahkamah Agung (MA) menganulir putusan vonis tersebut. MA membebaskan Aop karena  mendisiplinkan siswa merupakan salah satu tugasnya sebagai guru.

Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, kasus pidana yang melibatkan guru sebagai terdakwa jumlahnya meningkat secara signifikan. Dari data tersebut, pada 2015 hingga 2020, terjadi lebih dari 150 kasus kriminalisasi guru di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagian besar kasus berawal dari tindakan guru yang sedang mendisiplinkan siswa demi menjaga tata tertib sekolah. Padahal, mendisiplinkan merupakan tugas guru, sebagai pengganti di sekolah. Sungguh ironis, bukan?

Hukuman edukatif bagi siswa, perlindungan hukum bagi guru

Apa yang salah? Sejatinya, kasus ini tengah menunjukkan adanya suatu krisis hubungan antara guru, murid, dan orang tua. Sebuah tindakan pendisiplinan atau teguran sebagai bagian integral dari pendidikan justru disalahartikan dan dibawa ke ranah hukum. Padahal, lembaga tertinggi peradilan Mahmakah Agung (MA) telah mengeluarkan yurisprudensi MA No. 1554 K/PID/2013. Yurisprudensi itu menyebut bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.

Selain itu, PP No 74/2008 sebagai aturan turunan dari UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen pun demikian telah enegaskan perlindungan terhadap profesi guru. Adapun bunyi bunyi Pasal 39 ayat 1 PP tersebut: "Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya,". Lebih lanjut, di dalam ayat 2 disebutkan, sanksi dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

Saya pribadi, tidak sepakat dengan adanya hukuman fisik dalam sistem pendidikan, yakni dilakukan guru terhadap siswa. Akan tetapi, jika siswa melakukan kesalahan atau pelanggaran, harus tetap diberikan sanksi. Dengan sanksi dan hukuman itulah, diharapkan siswa paham, sadar dan menyadari tujuannya sebagai pembelajar. Hukuman yang diberikan guru terhadap siswa pun dapat dilakukan secara edukatif.

Ada beberapa contoh hukuman edukatif seperti memberikan pekerjaan rumah tambahan, mengerjakan soal, menulis permintaan maaf hingga membawa siswa ke ruang guru. Dengan demikian, hukuman non-fisik, namun tetap memberikan efek jera, tidak melakukan kembali serta mendidik.

Selain itu, kita berharap upaya pemerintah menerapkan perlindungan hukum terhadap guru. Hal yang harus dikedepankan dalam upaya penegakan hukum yang adil adalah prinsip praduga tak bersalah. Dari sini, bisa diterapkan sistem atau mekanisme agar guru, murid, maupun orang tua dapat mengajukan keluhan atau keberatan. Hal itu tentunya didukung dengan bukti yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, jika memang terjadi permasalahan hukum menimpa, diharapkan hakim dapat dengan arif mempertimbangkan penyelesaian secara keadilan restoratif (Restorative Justice). Dengan demikian, tidak semua masalah diselesaikan dengan pidana, namun juga memastikan adanya keadilan yang dirasakan oleh semua pihak. Semoga, kasus-kasus serupa yang menimpa Ibu Supriyani tidak kembali terjadi kepada para kalangan pendidik di negeri ini. Ingat, guru adalah pelita dalam kegelapan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak