Baru-baru ini, Wakil Presiden Gibran Rakabuming dalam sebuah sambutan acara Pembukaan Tanwir I Pemuda Muhammadiyah, menyampaikan komitmennya untuk menyambut Indonesia Emas 2045. Menurut Gibran, perlu dipersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul melalui perbaikan sistem pendidikan. Salah satunya adalah menghapus kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi.
Gibran bahkan telah memerintahkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu’ti untuk mewujudkan keinginannya tersebut. “Saya sampaikan secara tegas ke pak menteri pendidikan, pak ini zonasi harus dihilangkan”. Kurang lebih itu kalimat yang disampaikan Gibran kala itu.
Untuk diketahui, kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi adalah seleksi penerimaan yang lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah. Melalui sistem ini, siswa mendapatkan layanan pendidikan dari sekolah yang lebih dekat.
Melansir situs Kemdikbud RI, kebijakan sistem zonasi pertama kali diterapkan pada 2017, pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy. Aturan mengenai PPDB pun termuat Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018.
Pada masa jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, sistem zonasi tetap dilanjutkan meski Nadiem suatu ketika pernah mengeluhkan ”kena getahnya setiap tahun karena zonasi”. Nadiem menyebut bahwa sistem zonasi mampu mengatasi kesenjangan dalam pendidikan.
Permintaan Wapres tadi jelas direspons banyak pihak. Salah satunya, pihak Ombudsman RI. Selama ini, lembaga tersebut juga telah bekerja sebagai pengawas pelayanan publik yang rutin mengawasi pelaksanaan PPDB. Lebih lanjut, Ombudsman RI menilai sistem zonasi masih sangat relevan untuk mendorong pemerataan kualitas dan fasilitas pendidikan.
Senada dengan pendapat Ombudsman, mantan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012-2017, Basuki Tjahaja Purnama, juga mengungkapkan hal serupa. Menurut Ahok sapaan akrabnya, sistem zonasi tetap perlu ada namun dengan perbaikan dalam pelaksanaannya.
Ahok mengatakan bahwa semasa menjabat gubernur, ada banyak laporan siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu sulit bersekolah meski tinggal di dekat sekolah. Lebih lanjut, bagi Ahok, berbagai permasalahan zonasi yang akan berulang. Dengan demikian, hal itu perlu ditangani oleh pemimpin yang ”pro rakyat” dengan cara mau membuka diri, mau mendengar keluhan, dan mengeluarkan kebijakan yang mendukung rakyatnya.
Sama halnya dengan dua pendapat sebelumnya, anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief Muhammad dan Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian juga mengungkap bahwa harus ada kajian ulang kekurangan dan kelebihan dari penerapan sistem zonasi pada PPDB. Upaya itu tidak lain dilakukan dengan melalui proses diskusi dan mendengar pendapat publik serta stakeholder.
Saya harap, dari pendapat-pendapat di atas memberi keyakinan pada warga lainnya, baik siswa maupun orang tua calon siswa. Bahwasannya langkah pemerintah, melalui Kemendikdasmen tidak terburu-buru dan masih melakukan kajian terhadap kebijakan PPDB sistem zonasi sebelum memutuskan apakah akan dilanjutkan, diubah, atau dihapuskan.
Dalam opini kecil ini, meski ada kekurangan dan ketidaksempurnaan, saya sepakat pada pendapat bahwa sistem zonasi masih relevan diterapkan dalam kebijakan pendidikan di Indonesia. Beberapa alasan saya mendukung sistem zonasi ini akan saya uraikan dalam beberapa poin berikut.
Pertama, sistem zonasi bisa menghilangkan stigma dan label “sekolah favorit”. Sebelum diterapkan kebijakan PPDB sistem zonasi, label sekolah favorit itu memang benar ada. Sebaliknya, ada sebutan bagi sekolah negeri—dan tentu saja swasta yang non-favorit sebagai “sekolah buangan”. Orang tua tentu lebih memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah negeri favorit karena meyakini gurunya sudah pasti pintar, teman-temannya juga pintar dan tidak nakal serta fasilitasnya lebih memadai.
Bagaimana dengan sekolah buangan tadi? Biasanya masyarakat menganggap sekolah tersebut tempat di mana anak-anak yang tidak diterima sekolah favorit berada, tempat berkumpulnya siswa-siswa nakal. Orang tua tentu khawatir jika berada di lingkungan demikian, akan mempengaruhi anaknya yang notabene tidak nakal, misalnya.
Kalau sudah begini, jangankan orang tua khawatir, mahasiswa kependidikan calon guru pun cenderung memilih lokasi PPL dan magang di sekolah favorit daripada sekolah non favorit. Setelah menjadi guru pun, mereka jauh lebih berharap ditempatkan di sekolah favorit.
Jika yang dikhawatirkan kecurangan praktik jual beli kursi. Hal itu sudah jauh terjadi di masa saya sekolah dahulu. Mereka, para calon siswa tidak mendaftarkan diri ke sekolah menggunakan nilai NEM/danem sebagaimana siswa lainnya. Biasanya, nilai mereka bisa dibilang ”kecil” hanya saja orang tua mereka sanggup membayar lebih. Sebutan ”jalur belakang” atau ”jalur mandiri” mengemuka untuk kasus seperti ini. Orang tua berani membayar berapapun biaya dengan tujuan agar anak mereka diterima di sekolah yang diincar. Maka tidak heran, ketika sudah berada di sekolah dan di kelas. Ada nama-nama atau siswa baru yang tiba-tiba muncul padahal tidak ada di laman pantauan pendaftaran. Untuk itu, sistem zonasi bisa menghilangkan favoritisme sekolah, siapapun siswa bisa bersekolah tanpa memandang status sosial, ekonomi atau nilai mereka.
Kedua, tujuan sistem zonasi untuk mendekatkan lingkungan sekolah dengan keluarga dan meningkatkan tumbuh kembang anak lebih optimal. Tentu saya pun sepakat dengan tujuan tersebut. Terlebih di masa sekarang, dimana kasus perundungan dan kekerasan di lingkungan sekolah marak terjadi.
Sistem zonasi memungkinkan anak bersekolah di lokasi yang lebih dekat dengan komunitas atau tempat tinggal mereka sendiri. Artinya, diharapkan bisa mengurangi potensi tindak perundungan dan kejahatan lainnya. Mereka akan lebih mudah beradaptasi, merasa nyaman dan mengenal teman-teman serta orang-orang dari lingkungan sosial yang sama. Selain itu, dari sisi pengawasan, orang tua lebih mudah terlibat dalam aktivitas sekolah hingga memberikan dukungan pada mereka.
Ketiga, sistem zonasi mencerminkan amanat undang-undang yang memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dalam konteks ini, sistem zonasi berupaya meminimalisir kesenjangan antara sekolah yang berada di kawasan elit dan pusat dengan sekolah lainnya. Artinya, sistem ini akan memberikan kesempatan sama bagi semua anak untuk mengakses pendidikan setara, tanpa memandang status sosial-ekonomi keluarga. Dengan demikian, sistem zonasi diharapkan mampu mendorong pemerataan fasilitas dan kualitas pendidikan di seluruh wilayah. Hal ini tentu senafas dengan prinsip keadilan sosial yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Penutup
Sistem pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi setiap tahun menuai polemik dan kritik dari masyarakat. Terbaru, keluhan masyarakat tersebut ditanggapi oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming. Tak pelak, tantangan dalam implementasi kebijakan yang baru berjalan kurang lebih tujuh tahun ini tentu ada.
Namun demikian, sebagai warga negara saya percaya bahwa kebijakan ini tetap relevan dan memiliki nilai positif bagi dunia pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, serupa dengan pendapat-pendapat para pengamat serta anggota legislatif, saya harap pemerintah terus berupaya melakukan evaluasi serta perbaikan, agar kebijakan sistem zonasi berjalan efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Tentu saja, perlu adanya sinergi dan keterlibatan semua pihak, baik dari pemerintah, institusi pendidikan, pengamat pendidikan, peneliti, hingga masyarakat demi mencari solusi terbaik. Harapannya, kebijakan sistem zonasi dalam PPDB bisa memfasilitasi pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk menyambut generasi Indonesia Emas 2045.