Stop Normalisasi Bertanya Kapan di Hari Raya!

Hernawan | Marcella Averina
Stop Normalisasi Bertanya Kapan di Hari Raya!
Ilustrasi Berkumpul Keluarga (freepik.com/freepik)

Hari raya Idul Fitri akan segera tiba dalam hitungan hari. Berbagai kalangan masyarakat sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan menjelang hari raya. Hal itu bisa kita amati dari toko-toko yang ramai dipadati pembeli, keluarga yang sibuk membersihkan rumah, atau karyawan yang berbagi hampers kepada rekan kerja mereka.

Selain itu, hari raya Idul Fitri tidak lepas dari tradisi mudik. Bagi sebagian besar orang, mudik menjadi momen yang paling dinantikan. Pada momen ini, orang yang jauh dari keluarga untuk menempuh pendidikan atau bekerja akan berkumpul kembali dengan keluarga dan saling melepas rindu di rumah masa kecil.

Sayangnya, di balik indahnya melepas rindu bersama keluarga di rumah tersimpan kekhawatiran yang dimiliki beberapa orang. Umumnya, kekhawatiran tersebut dirasakan oleh anak muda yang berada di usia 20an karena mereka seringkali merasa belum bisa jadi apa-apa. Entah karena belum menamatkan studi, belum mendapatkan pekerjaan, pekerjaan mereka belum menghasilkan gaji 2 digit, atau belum memiliki pasangan.

Kekhawatiran tersebut diperparah oleh pertanyaan basa basi dari keluarga besar yang dari tahun ke tahun tidak jauh berbeda. Biasanya, keluarga besar yang sudah lama tidak berjumpa akan basa basi dengan menanyakan kabar selama kita tidak bertemu atau mungkin selama kita berada di perantauan.

Dari pertanyaan yang sebatas menanyakan kabar itu umumnya akan merambah menjadi “Kapan lulus?” “Kapan wisuda?” “Kapan dapat kerja?” “Kapan punya pacar?” “Kapan menikah?” “Kapan punya anak?” dan berbagai pertanyaan kapan lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, ketika kita sudah menanggapinya pun seringkali jawaban kita akan disanggah dengan berbagai nasihat supaya kita bisa segera memiliki jawaban pasti akan pertanyaan yang sudah mereka lontarkan.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sekilas memang tidak dimaksudkan untuk merendahkan atau menyakiti hati pihak manapun. Bagi pihak penanya, pertanyaan seperti ini memang hanya sebatas pencair suasana setelah lama tidak berjumpa dengan kerabat. Hanya saja, hal itu seringkali hanya dirasakan oleh sisi sang penanya.

Lain halnya dengan yang dirasakan sang penerima pertanyaan yang harus menjawab pertanyaan tersebut. Biasanya penerima pertanyaan akan merasa kebingungan harus menjawab apa, terutama ketika mereka belum bisa memberikan jawaban pasti. Apalagi ketika mereka sendiri juga sedang kebingungan bagaimana caranya memperjuangkan hal-hal tersebut. Tentu langkah mereka yang sudah sangat berat menjadi terasa semakin berat.

Ketika sang penerima pertanyaan yang hidupnya sudah berat dihujani dengan pertanyaan seperti itu, tidak jarang mereka menjadi tersinggung dan merasa dirinya gagal. Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga banyak dari mereka yang akhirnya memilih untuk menghindar dari acara bersama keluarga besar lagi di kemudian hari.

Bertanya kabar memang baik dan mencairkan suasana setelah lama tidak berjumpa. Namun, masih ada banyak cara yang lebih baik daripada menghujani seseorang dengan pertanyaan “kapan” yang tidak kunjung berakhir. Ada baiknya pertanyaan kapan yang tidak ada habisnya itu tidak dinormalisasi, apalagi ketika jawaban dari pertanyaan tersebut ditanggapi dengan tanggapan yang menghakimi.

Seperti kata pepatah, “Everyone you meet is fighting a battle you know nothing about, be kind always”, kita tidak pernah tahu apa yang orang lain lalui, jalan apa yang dipilih, apa alasan di balik semua yang dilakukan. Kita juga tidak tahu apa yang sedang diusahakan dan dijadikan “bahan overthinking” orang lain setiap malamnya. Ada baiknya kita tidak menghakimi apa yang dijalani orang lain.

Bagi penerima pertanyaan, kita memang tidak bisa mengendalikan apa yang akan dilakukan atau diucapkan orang lain. Tapi, kita bisa mengendalikan cara kita menanggapinya. Tidak mudah memang, tapi setidaknya kita bisa memilih untuk menanggapi dengan hati yang lebih lapang dan menganggap pertanyaan tersebut hanya sebagai angin lalu. Lagipula hanya kita yang paling tahu apa yang tengah kita usahakan dan perjuangkan.

Hari raya yang menjadi momen berkumpul dan melepas rindu dengan keluarga sebaiknya menjadi pelepas penat setelah sekian lama berjuang, bukan menambah isi kepala yang sudah penuh dengan kekhawatiran. Kita bisa belajar lebih bijak dalam bertanya dan menanggapi perjalanan orang lain.

Bagi kalian yang sedang dibanjiri dengan berbagai pertanyaan kapan, semoga kalian memiliki hati yang luas. Walaupun mungkin lama, jangan lupa tetap percaya bahwa kalian sedang diminta menunggu waktu terbaik kalian. Tetap bertahan sedikit lagi, hingga akhirnya semua yang tengah diusahakan menghasilkan hasil yang diharapkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak