Surplus tapi Masih Impor: Paradoks Kebijakan Pangan Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Surplus tapi Masih Impor: Paradoks Kebijakan Pangan Indonesia
Wakil Presiden Gibran (Instagram/@setwapres.ri)

Beberapa hari lalu, Wakil Presiden Gibran menyebut bahwa Indonesia sedang mengalami surplus pangan. Katanya, beda dengan banyak negara lain yang sedang kesulitan, kita justru berlimpah. Bahkan, menterinya rajin turun ke lapangan untuk memastikan semuanya berjalan lancar.

Pernyataan ini tentu menarik. Tapi di saat yang sama, juga bikin banyak orang mengernyitkan dahi. Karena faktanya, harga beras di pasaran masih tinggi, telur dan daging nggak murah, dan kedelai sebagian besar masih impor. Jadi wajar kalau muncul pertanyaan, kalau kita benar-benar surplus, kenapa belanja ke pasar masih bikin pusing?

Secara teori, surplus pangan artinya kita memproduksi lebih banyak makanan daripada yang kita konsumsi. Logikanya, kalau barang banyak, harga turun. Tapi kenyataannya nggak gitu. Yang ada, harga malah naik. Ini kayak kamu beli 10 porsi nasi goreng buat anak tongkrongan, tapi ujung-ujungnya tetap rebutan karena nggak semua dapet.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih impor banyak komoditas pangan. Tahun 2024, misalnya, impor gandum tembus 11 juta ton. Kedelai hampir 2 juta ton. Bahkan beras pun—yang katanya kita surplus—masih impor juga. Badan Pangan Nasional sendiri ngakuin kalau sepanjang 2024-2025, stok beras cadangan didongkrak dengan impor besar-besaran.

Jadi pertanyaannya, ini surplus produksi lokal, atau surplus karena belanja dari luar negeri?

Kalau surplus-nya hasil dari impor, ya jangan bangga-bangga amat. Itu kayak bilang dapurmu selalu penuh makanan, padahal isinya semua dari ojol.

Gibran juga bilang, Menteri Pertanian kita aktif turun ke lapangan. Nah, ini kalimat yang sering kita denger, tapi... turun ke lapangan tuh sebenarnya ngapain? Kalau sekadar inspeksi formal, foto bareng petani, lalu pulang—itu bukan solusi, itu konten.

Turun ke lapangan idealnya buat denger langsung keluhan petani, bukan sekadar selfie di sawah. Karena realitanya, petani kita masih berjibaku sama pupuk langka, harga jual hasil panen yang rendah, dan kebijakan yang kadang lebih pro pedagang besar daripada petani kecil. Apa gunanya surplus kalau petani sendiri nggak ikut sejahtera?

Kalau barang banyak, harga mestinya turun. Tapi kalau harga nggak turun meski katanya surplus, berarti ada yang salah di jalur distribusi, tata niaga, atau malah... ada yang sengaja ditahan biar untung tetap maksimal. Kayak konser yang tiketnya sengaja dibatasi biar bisa dijual mahal lewat reseller.

Dan kalau benar ada pola kayak gitu, berarti ini bukan lagi soal ketersediaan pangan, tapi soal politik pangan. Siapa yang pegang kendali, siapa yang untung, dan siapa yang harus makan mie instan tiap malam karena harga bahan pokok udah gak masuk akal.

Ngomongin surplus jangan cuma berhenti di angka. Surplus sejati itu bukan cuma soal banyaknya stok di gudang Bulog. Tapi soal apakah rakyat bisa beli dengan harga terjangkau, petani bisa hidup layak, dan negara nggak terus-terusan tergantung dari impor.

Kita pernah punya mimpi besar soal swasembada pangan. Tapi realitanya, sejak reformasi sampai sekarang, mimpi itu belum juga jadi kenyataan. Pemerintah silih berganti, tapi masalah dasarnya tetap, pertanian belum dikelola dengan serius dan berpihak pada petani.

Jadi kalau hari ini pemerintah bilang kita surplus, sementara rakyat bilang dapurnya masih sesak karena harga tak kunjung turun, mungkin saatnya kita dengerin yang di pasar, bukan cuma yang di podium.

Rakyat nggak minta banyak. Nggak minta makan steak tiap hari. Cuma minta beras di bawah 10 ribu, telur stabil, dan bisa belanja ke warung tanpa deg-degan. Itu aja.

Jadi ketika pemerintah mulai membanggakan surplus, kita berhak bertanya: "Surplus buat siapa?" Karena kalau surplus hanya jadi alasan untuk menaikkan citra politik tanpa menyentuh kenyataan di lapangan, itu bukan pencapaian, itu cuma ilusi.

Pangan itu hak dasar. Dan selama harga masih melambung, selama petani masih mengeluh, selama kita masih bergantung pada impor, maka narasi “surplus” itu sebaiknya jangan dijadikan spanduk kebanggaan dulu. Kita belum sampai sana.

Belum.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak