Ada kalanya film nggak lagi sebatas tontonan, melainkan gambaran wajah bangsa. Begitulah yang kurasakan ketika nonton ‘Siapa Dia’, film musikal terbaru garapan Garin Nugroho. Rasanya seperti menatap sejarah perfilman Indonesia dalam kaleidoskop yang indah, berwarna, penuh harmoni, tapi sekaligus rapuh dan retak.
Sejak awal film, aku disergap satu pertanyaan yang menusuk. Benarkah perfilman Indonesia sedang bangkit, atau kita hanya mengulang pola lama yang sebentar lagi runtuh?
Dalam film ini, Layar (diperankan Nicholas Saputra) merupakan sutradara muda yang mendadak populer karena film pertamanya sukses besar. Namun, di balik sorak-sorai penonton, Layar dilanda kebimbangan. Terkait bagaimana melanjutkan langkah? Bagaimana membuat film kedua tanpa kehilangan makna?
Kebingungan itu membawanya pada sebuah penemuan koper tua peninggalan keluarganya yang berisi catatan, surat, dan fragmen sejarah. Dari sinilah kisah melompat ke berbagai zaman, membentangkan jejak empat generasi: Buyut, kakek, ayah, hingga dirinya sendiri.
Dari Zaman kolonial, ketika Komedi Stamboel jadi hiburan rakyat dan cikal bakal film. Lalu ke masa perjuangan, di mana seni sering jadi alat perlawanan sekaligus korban represi. Setelah itu ke era kejayaan film populer tahun 1970–an hingga 1980–an, dengan melodrama, musik, dan ikon-ikon layar lebar. Dan akhirnya, masa kini, di era media sosial, film digital, dan pasar penonton yang kian beragam.
Di sepanjang perjalanan ini, tampak wajah-wajah perempuan lintas generasi: Amanda Rawles, Ariel Tatum, Happy Salma, Widi Mulia, Monita Tahalea, Joanna Alexandra, Gisella Anastasia, Cindy Nirmala, hingga Dira Sugandi. Mereka tuh representasi suara, emosi, dan dinamika zaman yang ikut mewarnai perjalanan Layar.
Lebih Dalam Perilah Kegelisahan Garin Nugroho

Film ini pada dasarnya sebuah musikal-historis, yang mana tarian, nyanyian, dialog, dan visual saling bertaut. Namun di balik harmoni itu, Garin menyelipkan kegelisahan terkait sejarah perfilman Indonesia selalu penuh luka, kebangkitan yang seringkali nggak pernah tuntas.
Pilihan Garin untuk menempatkan Nicholas Saputra dalam empat peran sekaligus tentu saja bukan sebatas eksperimen artistik. Ada maksud yang kuat di situ, terkait ‘wajah perfilman Indonesia’ dari masa ke masa adalah cerminan dari diri kita sendiri. Bahwa setiap generasi membawa beban, peninggalan, sekaligus kebingungan yang serupa.
Aku jadi ingat satu hal. Sejak 1950-an, perfilman Indonesia berkali-kali disebut ‘bangkit’. Dari Usmar Ismail dengan Film Darah dan Doa, hingga ledakan film populer era 1970-an. Dari kejayaan Film Badai Pasti Berlalu hingga semarak film komedi Warkop. Dari kebangkitan pasca–reformasi dengan Film Ada Apa dengan Cinta? hingga film masa kini yang tembus jutaan penonton seperti Film KKN di Desa Penari dan Film Jumbo.
Sayangnya, setiap kali bangkit, ada juga kejatuhan. Industri mandek, bioskop sepi, sineas kehilangan ruang. Kita kembali lagi ke titik nol. Seakan-akan perfilman Indonesia ini bak Sisifus yang mendorong batu ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya jatuh lagi.
Garin Nugroho melalui Film Siapa Dia, kayak lagi berteriak, “Bangkit itu penting, tapi tanpa kesinambungan, bangkit hanya jadi pesta kembang api. Indah sesaat, lalu padam.
Menonton Siapa Dia membuatku sadar. Perfilman Indonesia hanya bisa benar-benar bangkit kalau ada sistem yang menopangnya. Distribusi harus lebih merata, pendidikan film perlu diperkuat, dukungan pemerintah jangan sekadar jargon, dan penonton juga perlu mendukung film dengan cara yang sehat.
Karena pada akhirnya, kita (para penonton, sineas, penulis, kritikus, bahkan pemerintah) semua adalah bagian dari ekosistem. Kalau kita hanya menunggu tanpa bergerak, kebangkitan cuma berhenti di satu tempat.
Film Siapa Dia sudah tayang di bioskop sejak 28 Agustus 2025. Sudahkah Sobat Yoursay nonton?