Ada sesuatu yang selalu bikin terkesima tiap kali dengar kabar aktor atau aktris Indonesia berjaya di luar negeri. Rasanya bukan cuma soal ‘bangga jadi orang Indonesia’, tapi juga kayak ada pembuktian kalau kita tuh bisa, karya kita bisa, dan cerita-cerita kita layak didengar di panggung dunia. Dan kali ini, Claresta Taufan lewat perannya sebagai Sartika dalam Film Pangku, debut penyutradaraan Reza Rahadian, mengukir prestasi prestisius.
Di Busan International Film Festival 2025, salah satu festival film paling bergengsi di Asia, Claresta Taufan dianugerahi Rising Star Award dalam program Marie Claire Asia Star Award. Bukan penghargaan sembarangan lho! Award ini khusus diberikan buat aktor muda Asia yang dianggap punya potensi besar, bukan cuma soal popularitas, tapi juga kualitas akting dan keberanian memilih peran. Dan apa yang bikin tambah spesial? Claresta menang karena perannya sebagai Sartika (tokoh utama dalam Pangku) yang ceritanya nggak main-main.
Karakter Sartika bukan tipikal tokoh protagonis manis yang biasanya disukai penonton awam. Dia adalah perempuan yang hidup di pusaran ‘kopi pangku’, fenomena di jalur Pantura, di mana perempuan bekerja di warung kopi, tapi kehangatannya sering diperdagangkan dalam bentuk tubuh dan pangkuan.
Di balik gelas kopi murah, ada cerita getir perihal hutang budi, stigma sosial, dan keterpaksaan hidup yang diwariskan turun-temurun. Nah, Sartika digambarkan sebagai seseorang yang tumbuh dari lingkaran itu, lalu merasa ‘harus meneruskan’ meskipun jiwanya mungkin menolak.
Membawakan karakter seperti ini jelas bukan hal mudah. Butuh keberanian besar, apalagi buat aktris muda. Risikonya tinggi, bisa dihujat publik, bisa dicap negatif. Namun Claresta berani melakukannya. Dan hasilnya? Dunia melihat, dunia mengakui.
Betewe, warung kopi pangku di jalur Pantura mungkin buat sebagian orang hanya bahan lelucon atau obrolan iseng. Namun, Sutradara Reza Rahadian dan tim film ini menolak untuk sekadar menertawakan. Ya, mereka menatap langsung kenyataan pahitnya.
Gilanya, Busan International Film Festival nggak cuma memutar ‘Pangku’, tapi juga spotlight pada Claresta. Hanya saja, kalau nanti film ini tayang di bioskop Indonesia, mungkin akan ada suara-suara ribut, “Wah ini film porno terselubung”, “Kenapa sih bikin film kayak gini?”, atau bahkan sensor yang memotong bagian penting.
Kontras ini bukan hal baru sih. Sejarah perfilman kita sering mencatat bagaimana film-film yang berani bicara soal realita sosial lebih dihargai di luar negeri ketimbang di rumah sendiri. ‘Blind Pig Who Wants to Fly’ (Edwin) dulu contohnya, dipuji di festival internasional tapi jadi perdebatan di sini (Indonesia)
Aku rasa yang bikin kemenangan Claresta Taufan ini penting banget adalah dia bisa jadi kiblat generasi baru aktris Indonesia. Generasi yang berani memilih peran sulit, nggak hanya mencari aman dengan film komedi-romansa yang ringan.
Bayangkan saja, di usia muda, Claresta langsung menerima peran yang penuh resiko secara moral dan emosional. Dan dia nggak cuma lewat begitu saja, tapi berhasil bikin juri festival internasional angkat topi. Itu tandanya dia punya range akting yang luar biasa.
Di titik ini, aku jadi ingat beberapa nama aktris kita yang dulu juga berhasil mencetak prestasi dengan peran berat. Ladya Cheryl lewat film-film Edwin, yang selalu intens. Marsha Timothy di Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, yang sukses masuk Cannes. Dan sekarang Claresta Taufan, yang bahkan sudah mencatat sejarah di Busan lewat Film Pangku.
Nah, dari sini, kisah Film Pangku ngajarin kita beberapa hal penting. Film sosial nggak harus kalah dengan film komersial. Kalau digarap serius, bisa jadi berkelas yang dihargai di luar negeri. Lalu, aktris muda Indonesia punya potensi besar kalau dikasih ruang.
Sungguh membanggakan, film asal Indonesia bisa bersuara lantang di panggung dunia. Bahwa dari balik warung kopi remang, bisa lahir sinema yang berkelas. Maju terus perfilman Indonesia!