Dulu Ramai, Kini Sepi: Kisah Redupnya Pusat Buku Taman Pintar Yogyakarta

Hikmawan Firdaus | Mira Fitdyati
Dulu Ramai, Kini Sepi: Kisah Redupnya Pusat Buku Taman Pintar Yogyakarta
Potret Komplek Buku Taman Pintar (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)

Suasana di Komplek Buku Taman Pintar Yogyakarta kini tak sehidup dulu. Deretan kios yang dulu ramai pengunjung kini tampak lebih lengang. Beberapa pedagang tampak duduk di kursi, menunggu pembeli yang kian jarang datang.

Aroma khas buku masih terasa, tetapi suasana riuh tanya jawab antara penjual dan pembeli sudah jarang terdengar. Tempat yang dulu menjadi surga bagi pecinta literasi ini kini menghadapi kenyataan baru, pamornya perlahan menurun di tengah perubahan zaman.

Bertahan di Tengah Gempuran Digital

Potret Komplek Buku Taman Pintar (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)
Potret Komplek Buku Taman Pintar (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)

Arwan (63), salah satu pedagang buku yang sudah puluhan tahun berjualan di sana, mengingat masa kejayaannya dengan mata yang tampak sendu. Pandemi Covid-19 juga memberikan dampak bagi banyak pedagang buku di kawasan ini. Aktivitas yang terhenti cukup lama membuat banyak kios kehilangan pembeli.

Dulu memang banyak pembelinya, tetapi setelah Covid-19 mulai sepi, enggak sebanyak dulu. Sekarang tiap hari tetap laku, tapi enggak seperti dulu,” ujarnya pada Minggu (5/10/2025).

Meski penjualan menurun, Arwan tetap membuka kiosnya setiap hari dengan harapan masih ada pembeli yang datang, meski hanya satu atau dua orang. Menurutnya, pembeli yang datang masih beragam tetapi jumlahnya jauh menurun.

Kalau yang beli mahasiswa ya biasanya buku kuliah, kalau anak-anak buku cerita, kalau orang dewasa buku agama dan sebagainya,” jelasnya.

Ia menilai, pergeseran pola konsumsi masyarakat menjadi salah satu penyebab utama penurunan ini. Sementara itu, perkembangan teknologi yang semakin cepat mendorong masyarakat untuk beralih pada platform digital. Kini, hanya dengan beberapa ketukan di layar ponsel, buku apa pun bisa dibeli dan langsung dikirim ke rumah tanpa harus keluar.

Mungkin karena adanya buku bajakan itu yang pertama, yang kedua adanya sistem pembelian online yang lebih mempermudah dalam proses pembelian,” tambahnya.

Meski begitu, Arwan tidak ingin menyerah pada keadaan. Ia tetap yakin bahwa buku fisik memiliki tempat tersendiri di hati pembacanya.

Ya, kita setidaknya haruslah optimis, karena ini sumber nafkah kita. Bagaimana kita meningkatkan pelayanan, lebih memperhatikan harga, dan lain-lain,” ujarnya dengan senyum kecil yang penuh keyakinan.

Harapan di Antara Rak yang Mulai Berdebu

Potret Komplek Buku Taman Pintar (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)
Potret Komplek Buku Taman Pintar (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)

Pandangan Arwan sejalan dengan realita di lapangan. Banyak pedagang lain masih bertahan dengan cara memperbarui tampilan kios, menambah variasi buku, hingga menawarkan potongan harga untuk menarik perhatian pembeli. Namun, tetap saja, langkah itu belum mampu mengembalikan keramaian seperti dulu.

Dari sisi pengunjung, perubahan perilaku juga terasa. Fiza (12), salah satu pengunjung Taman Pintar, mengaku bahkan kurang mengenal adanya komplek buku di area tersebut. Padahal, ia merupakan warga asli Jogja. Baginya, membeli buku secara online lebih praktis dan menawarkan banyak pilihan dengan harga yang lebih terjangkau.

Aku biasanya beli buku online di S*op*e, gampang dicari dan dipilih-pilih,” ujarnya.

Fiza juga menilai pengalaman berbelanja langsung di kios buku masih memiliki sisi positif dan negatif.

Beberapa penjual ramah, tapi ada juga yang enggak terlalu ramah,” tuturnya.

Ucapan itu menunjukkan perubahan cara pandang generasi muda terhadap interaksi jual beli konvensional yang dulu menjadi hal biasa.

Menurunnya minat pembelian buku fisik menjadi kenyataan yang sulit dihindari bagi para pedagang di Komplek Buku Taman Pintar. Perubahan perilaku masyarakat, kemudahan berbelanja online, serta dominasi dunia digital membuat kios-kios buku semakin sepi dari pengunjung.

Namun, di balik rak-rak yang mulai berdebu, masih tersisa harapan agar kecintaan pada buku fisik tak sepenuhnya hilang, sebab dari sanalah semangat literasi pernah tumbuh dan menghidupkan kota pelajar ini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak