Di tengah kemajuan zaman dan derasnya arus informasi digital, kita sering terkejut dengan berita tentang tindakan bullying baik di sekolah, universitas, lingkungan kerja, maupun dunia maya.
Fenomena ini seolah tidak pernah benar-benar hilang. Bentuknya mungkin berubah dari ejekan langsung di lapangan sekolah menjadi komentar tajam di kolom media sosial. Namun, esensinya tetap sama, sebuah tindakan yang menyalurkan rasa berkuasa dengan cara merendahkan orang lain.
Ironisnya, banyak pelaku bullying tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah bentuk ketidakstabilan psikologis. Mereka mungkin terlihat kuat, percaya diri, bahkan populer.
Tetapi di balik wajah dominan itu, sering kali tersembunyi luka batin yang belum terselesaikan. Psikologi modern menyebut fenomena ini sebagai projection mechanism, ketika seseorang memproyeksikan rasa tidak aman, rendah diri, atau trauma masa lalu kepada orang lain melalui tindakan agresif.
Kupas Sisi Psikologi Dibalik Tindakan Bullying
Pelaku bullying bukan hanya sekadar “orang jahat” dalam narasi hitam-putih. Mereka sering kali adalah produk dari lingkungan yang keras dan kurang kasih sayang. Banyak di antara mereka tumbuh dalam situasi di mana kekuatan dan kontrol menjadi cara bertahan hidup.
Misalnya, anak yang sering dimarahi, dibanding-bandingkan, atau diabaikan oleh orang tua bisa mengembangkan perilaku dominan untuk menutupi rasa tidak berdayanya. Saat ia membully orang lain, sesungguhnya ia sedang mencoba membuktikan nilai dirinya yang selama ini tidak diakui.
Dari sisi psikologi perkembangan, perilaku bullying juga bisa muncul akibat kebutuhan akan penerimaan sosial. Dalam masa remaja, keinginan untuk diterima kelompok sangat kuat.
Karena itu, beberapa pelaku bullying menjadikan intimidasi sebagai “alat sosial” untuk mempertahankan posisi dalam kelompok. Mereka merasa dihormati ketika mampu mengontrol atau menjatuhkan orang lain padahal yang sebenarnya terjadi hanyalah ilusi kekuasaan yang rapuh.
Hati-hati Cyberbullying yang Jadi Wajah Baru Kekerasan Psikologis
Yang lebih mengkhawatirkan, di era digital ini, bullying menemukan ruang baru bernama cyberbullying. Dunia maya memberikan anonimitas yang membuat pelaku merasa aman bersembunyi di balik layar. Ia bisa menyerang tanpa rasa bersalah karena tidak melihat langsung ekspresi korban.
Dalam konteks psikologi, ini disebut moral disengagement yakni kemampuan seseorang untuk memisahkan tindakan buruk dari konsekuensi moralnya.
Inilah sebabnya mengapa seseorang yang tampak sopan di dunia nyata bisa berubah menjadi sosok kejam di ruang digital. Ia merasa bebas, tidak diawasi, dan bisa mengontrol persepsi orang lain tanpa konsekuensi langsung.
Padahal, dampak psikologis yang dialami korban bisa jauh lebih berat, karena rasa malu, takut, dan cemas itu bisa terus membekas meski bullying telah berhenti.
Empati Sebagai Akar Solusi yang Sering Terlupa
Jika ditelusuri lebih dalam, akar dari semua bentuk bullying tetap sama yaitu ketidakmampuan mengelola emosi dan kurangnya empati.
Seorang pelaku pembully-an mungkin tidak pernah diajarkan bagaimana mengekspresikan kemarahan dengan sehat, atau bagaimana memahami perasaan orang lain. Ia tumbuh dalam sistem sosial yang lebih menghargai dominasi daripada kelembutan, lebih memuji keberanian kasar daripada empati lembut.
Solusinya tentu tidak sesederhana menghukum pelaku atau mengasihani korban. Kita perlu pendekatan yang lebih manusiawi dan edukatif. Sekolah, keluarga, dan lingkungan harus menjadi ruang yang mengajarkan empati sejak dini.
Anak-anak perlu belajar memahami bahwa setiap kata, setiap ejekan, bisa menimbulkan luka yang tidak terlihat. Di sisi lain, pelaku bullying juga perlu mendapat pendampingan psikologis, bukan hanya sanksi. Karena menghukum tanpa memahami akar masalahnya hanya akan menambah siklus kekerasan baru.
Pada akhirnya, bullying bukan hanya masalah perilaku, tetapi juga cerminan kondisi jiwa manusia modern yang haus akan pengakuan dan kehilangan koneksi emosional. Dalam dunia yang semakin sibuk mengejar pencitraan, banyak orang lupa bagaimana rasanya benar-benar memahami dan menghargai sesama.
Bullying adalah gejala dari dunia yang kehilangan empati dan untuk menyembuhkannya, kita tidak cukup hanya diam atau mengecam, tetapi harus mulai mendidik hati agar kembali mengenal kasih.
Mungkin saatnya kita berhenti memandang pelaku bullying semata-mata sebagai musuh, dan mulai melihatnya sebagai jiwa yang tersesat dalam pencarian makna. Karena di balik setiap tindakan menyakiti, selalu ada cerita tentang seseorang yang pernah terluka lebih dulu. Dan ketika kita menyembuhkan akar luka itu di sanalah harapan untuk dunia yang lebih lembut dan manusiawi akan mulai tumbuh.