Ada masa dalam hidup ketika kita merasa telah berjalan terlalu jauh ke arah yang salah. Seandainya hidup seperti game, mungkin kita ingin menekan tombol restart dan memulainya dari awal.
Kenyataannya hidup tidak sesederhana itu. Hidup tidak menyediakan opsi untuk menghapus langkah yang sudah diambil.
Perasaan ini paling sering menghampiri mereka yang berada di usia 20-an, fase yang sering disebut sebagai quarter life crisis.
Pada fase ini, banyak anak muda merasa kehilangan arah dan dihantui ketakutan akan masa depan yang tidak pasti.
Apakah ini sesederhana karena kita berada di persimpangan dengan banyak pilihan? Namun, tetap ada ketakutan besar yang menjadi payung dari semua kecemasan yaitu takut menyesal.
Menanam Biji Bunga Matahari
Melalui unggahan podcast di kanal YouTube In Our Twenties pada Senin (5/5/2025), dr. Andreas Kurniawan, penulis buku “Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya” membahas alasan mengapa kita sering ingin mengakhiri kehidupan yang sedang dijalani dan memulai kehidupan baru.
Kita seperti ingin mengulang kembali, tetapi sayangnya waktu tak pernah menyediakan kesempatan itu.
Dalam bukunya, dr. Andreas menggunakan bunga matahari sebagai analogi kehidupan. Ia mengungkapkan bahwa ia menemukan banyak pelajaran dari alam, salah satunya ketika ia menanam bunga matahari dari bijinya.
Banyak orang mengira menanam tanaman hanya soal meletakkan biji, menyiram, lalu menunggu tumbuh. Namun, menurut dr. Andreas, proses itu jauh lebih kompleks.
Ia menjelaskan tentang proses skarifikasi, kondisi di mana biji yang keras, termasuk biji bunga matahari, sulit tumbuh karena cangkangnya terlalu tebal.
Dalam beberapa situasi, biji tersebut perlu dirusak sedikit agar bisa terbuka. Ketika cangkangnya retak, air lebih mudah masuk dan membuat biji itu dapat tumbuh.
dr. Andreas mengungkapkan bahwa proses skarifikasi ini sebenarnya menyakiti biji. Namun, rasa sakit dengan cara dan dosis tertentu justru bermanfaat bagi pertumbuhannya.
Proses Skarifikasi yang Memfasilitasi Pertumbuhan
Bukankah dalam hidup kita juga mengalami skarifikasi seperti itu? Kita mengalami rasa sakit dalam berbagai bentuk seperti patah hati, ditinggalkan, kegagalan, kekecewaan, dan lainnya.
Apabila luka itu masih dalam batas yang bisa kita terima, dan kita mampu menyerap air darinya, mengambil pelajaran dan kebaikan, maka luka itu sebenarnya memfasilitasi kita untuk tumbuh.
dr. Andreas mengajak kita untuk melihat rasa sakit sebagai tanda bahwa dunia sedang memberikan skarifikasi yaitu luka yang disusun untuk membuka ruang baru dalam diri kita agar kita bisa tumbuh lebih kuat dan lebih baik.
Untuk kamu yang sedang merasa terluka atau dihantam masalah dari berbagai arah, mungkin itulah proses ketika dunia sedang mengajarkan sesuatu.
Tidak semua rasa sakit datang untuk menghancurkan, sebagian justru datang untuk membuka jalan pertumbuhan yang sebelumnya tidak pernah kita lihat.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS