Belakangan, barangkali banyak anggota keluarga maupun kerabat kita yang terkena Covid 19. Seiring akan hal itu, muncul istilah toxic positivity di berbagai linimasa media sosial.
Toxic Positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya atau orang lain untuk selalu bersikap positif. Termasuk dalam kasus Covid-19. Tanpa kita sadari, kalimat-kalimat yang kita lontarkan tersebut dapat melukai perasaan mereka yang terkena Covid 19.
Seperti contohnya, jika ada teman atau kerabat yang terkena Covid-19, mengucapkan "sabar ya kamu bisa cepat sembuh kok." Padahal tanpa kita sadari, ini menjadikan penderita merasa tertekan seolah-olah dia sangat menderita.
Daripada kita mengatakan hal tersebut, sebaiknya kita ucapkan "kalau butuh apa-apa kabari aku aja ya nanti aku datang" dan sebagiannya.
Terkadang dukungan itu dapat melukai hati seorang penderita tanpa kita sadari. Daripada begitu, sebaiknya kita mengatakan hal-hal yang lebih membantu mereka secara langsung, tanpa mengurangi nilai rasa kepedulian.
Dampak Toxic Positivity
1. Membuat individu merasa rendah diri
Terkadang penderita sering dibandingkan, sehingga membuat mereka tidak percaya diri dan akan berdampak pada kondisi kesehatan mereka yang semakin memburuk.
2. Mengingkari perasaan negatif yang dirasakan
Jika berlangsung dalam jangka panjang, akan membuat individu seperti tidak mengenal dirinya sendiri. Mereka akan beranggapan ketika emosi negatif muncul, maka itu bukan bagian dari dirinya.
3. Memunculkan perasaan kehilangan dukungan
Biasanya penyintas yang mendapatkan toxic positivity merasa bahwa dirinya tidak dipahami. Setelahnya muncul perasaan bahwa permasalahan dihadapi sendirian dan membuat mereka semakin merasa berat untuk menjalaninya.
Apa saja alasan orang melakukan toxic positivity?
1. Kebutuhan psikologi (menonjolkan diri)
Tanpa disadari, orang yang melakukan toxic positivity cenderung merasa lebih baik, hebat, atau bahkan hanya untuk menyalurkan agresinya. Kebutuhan yang tidak bisa dikendalikan bisa berakibat kontraproduktif, sehingga perlu diregulasi agar dapat disalurkan.
2. Berusaha terlihat baik-baik saja atau merasa tidak ingin terkalahkan
Tidak perlu merasa seperti itu. Jika kita memang sedang merasa susah atau di bawah, tidak apa-apa untuk mengakui kekurangan. Pasalnya, dari situ bisa terlihat lebih jelas apa yang harus diperbaiki.
Bagaimana cara menghindari toxic positivity?
- Tumbuhkan rasa empati
- Refleksi perasaan
- Pahami variasi perilaku manusia
- Hindari label atau menghakimi
- Tawarkan bantuan
- Dengarkan apa yang ingin mereka katakan
- Pahami bahwa hidup bukan soal perbandingan
- Jika memungkinkan berusaha untuk "selalu ada"
Ingatlah bahwa mereka semua butuh dukungan kita. Hindari Toxic Positivity agar kita bisa membantu mereka untuk bangkit dari Covid-19.