New Normal Diberlakukan, Menilik Imbasnya Bagi APBN

Tri Apriyani | sucy fhatma delima
New Normal Diberlakukan, Menilik Imbasnya Bagi APBN
Sri Mulyani (kemenkeu.go.id)

Baru-baru ini pemerintah membuat kebijakan baru yang telah diberlakukan di Indonesia disebut tatanan new normal di mana pada prinsipnya new normal merupakan fase Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan dan publik diperbolehkan untuk kembali beraktivitas normal seperti biasanya dengan tetap menjalankan sejumlah protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah sebelum ditemukannya vaksin.

Langkah ini diberlakukan pemerintah guna memulihkan kembali produktivitas masyarakat agar perekonomian dapat kembali bergeliat setelah laju pertumbuhannya sempat terpuruk di kuartal I-2020, yaitu hanya sebesar 2,97% berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Lantas apakah kondisi new normal yang sedang dijalankan saat ini menjadi kabar baik bagi perekonomian Indonesia? Dilansir dari www.kemenkeu.go.id dalam acara Peluncuran Laporan Indonesia Economic Quarterly (IEQ) Juni 2020, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut untuk menghadapi kondisi new normal, Pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun kebijakan ekonomi.

Indonesia harus terus fokus untuk meraih tujuan pertumbuhan yakni peningkatan pendapatan, perluasan lapangan pekerjaan, penurunan kemiskinan dan ketimpangan. Untuk mencapai itu, Mentri Keuangan menyatakan hal tersebut akan diraih melalui kerja keras yang lebih. 

Jika menilik imbasnya bagi APBN, Penyebaran virus Covid-19 telah berdampak besar terhadap ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia.

Corona berhasil membuat pemerintah melebarkan defisit APBN. Seperti yang dipaparkan Sri Mulyani, pengelolaan uang negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) menjadi hal yang sangat krusial.

Terlebih, uang negara  berkaitan erat untuk membantu masyarakat dan dunia usaha yang terdampak dengan adanya virus corona. "Membuat UU APBN di saat new normal ini membutuhkan waktu 8-9 bulan, sedangkan  dalam masa Covid-19 ini ditantang untuk dapat mampu meramu revisi APBN lebih cepat bahkan dalam hitungan minggu saja, hal ini cukup menjadi tantangan yang besar bagi  para punggawa penjaga keuangan negara," Jelas Sri Mulyani selaku Mentri Keuangan.

Kementrian Keuangan pun telah membuat instrumen fiskal berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang dirancang secara lebih fleksibel. 

Defisit APBN 2020 pun yang sebelumnya ditargetkan sebesar 1,75% terhadap PDB melebar menjadi 6,34% terhadap PDB.  Bersamaan dengan hal tersebut, Kemenkeu juga harus merevisi APBN 2020 baik dari sisi pendapatan, belanja, pembiayaan,serta asumsi outlook makro ekonomi.

Maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 sebagai respon dari kebijakan pemerintah menghadapi dampak Covid-19. Kemudian diturunkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 sebagai postur revisi APBN 2020.

Adapun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 sebagai payung hukum bagi pemulihan ekonomi nasional. Kementrian Keuangan bahkan telah menganggarkan penanganan Covid-19 sebesar Rp695,2 triliun.

Dana tersebut nantinya akan diperuntukkan bagi sektor kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp203,9 triliun, insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun, UMKM sebesar Rp123,36 triliun, pembiayaan korporasi sebesar Rp53,57 triliun, dan sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemda sebesar Rp106,11 triliun.

Seperti halnya pula yang telah ditetapkan oleh Presiden serta masukan dari Badan Anggaran Komisi 11, Sri Mulyani memaparkan dengan jelas bahwa pendapatan negara akan dikoreksi kembali dari Perpres yang tadinya menyebutkan dari 1.760,9 akan mengalami penurunan ke 1.699,1 triliun.

Di mana dalam hal ini penerimaan perpajakan dari 1.162,6 triliun akan menjadi 1.404,5 triliun. Di samping itu, Belanja Negara untuk menampung berbagai program pemulihan dan penanganan Covid-19 akan meningkat dari yang tercantum dalam Perpres No.54 sebesar 2.613,8 triliun direvisi menjadi 2.738,4 atau terjadinya kenaikan belanja sebesar 124,5 triliun yang mencakup berbagai belanja untuk mendukung pemulihan ekonomi termasuk di dalamnya daerah sektoral. Dengan demikian, Perpres No.54 Tahun 2020 mengenai postur akan direvisi dengan defisit yang meningkat dari 853,9 Triliun atau 5,07% dari GDP meningkat menjadi 1.039,2 Triliun atau menjadi 6,34% dari PDB.

Kenaikan defisit ini akan tetap dijaga oleh para punggawa penjaga keuangan negara sebagaimana sejalan dengan instruksi Presiden dari sisi sistemibilitas dan pembiayaan.

Dalam hal ini, punggawa keuangan negara akan menggunakan sumber pendanaan yang memiliki resiko paling kecil dan pengaruh biaya yang paling rendah.

Termasuk juga menggunakan sumber internal pemerintah sendiri berupa saldo anggaran lebihnya pemerintah, dana abadi yang dimiliki pemerintah untuk bidang kesehatan, BLU(Badan Layanan Umum), serta penarikan pinjaman dengan bunga yang rendah. Kemudian Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa akan menggunakan Surat Berharga Negara (SBN) baik di dalam domestik maupun global.

Selain itu, Astera Primanto Bhakti, selaku Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan juga membenarkan dengan tegas bahwa tatanan new normal akan berimbas langsung pada perumusan kebijakan secara signifikan.

Hal itu akan tercermin jelas dalam perubahan postur APBN. Astera Primanto Bhakti mengatakan bahwa pergeseran anggaran terjadi secara natural.

Hal ini disebabkan, banyaknya pos anggaran pada era new normal yang tak sesuai lagi. Misalnya, anggaran belanja operasional rapat otomatis dipangkas untuk subsidi silang program kesehatan yang akan digenjot.

“Dengan diberlakukannya new normal, secara alami hal ini akan membatasi belanja yang memang tidak bisa dibelanjakan. Walau ada kecendrungan dialihkan ke belanja yang sifatnya berupa belanja pegawai,” tambah Astera Primanto Bhakti.

Meskipun saat ini kita telah menerapkan new normal, namun pengeluaran akan lebih efisien karena dapat diprediksi secara lebih akurat.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak