Pemberitaan beberapa hari ini tentang resesi yang dihadapi Singapura membuat begitu banyak kalangan khususnya pelaku usaha Indonesia khawatir akan dampaknya bagi Indonesia, karena Singapura merupakan negara tetangga yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi Indonesia.
Bahkan beberapa kalangan dan pengamat mengatakan bahwa kemungkinan Indonesia akan jatuh ke jurang “resesi”. Dua krisis yang dialami Indonesia tahun ini yaitu krisis ekonomi dan kesehatan bisa jadi berdampak pada kondisi yang lebih parah dari tahun 1998.
Antara Indonesia dengan Singapura
Ketika Singapura mengalami pertumbuhan ekonomi hingga minus 40, maka jika Indonesia hingga kuartal ke-3 sampai bulan September mendatang diprediksi berada hanya di titik minus 6 sekalipun, bukan berarti kondisi ekonomi Indonesia lebih baik dari Singapura.
Jika krisis ekonomi berlangsung lebih dari 6 bulan di Indonesia, dampak yang paling terasa adalah prediksi jumlah angka kemiskinan meningkat menjadi 2 kali dari jumlah yang ada saat ini. Karena hingga Juni ini prediksi pertumbuhan Indonesia di titik minus 4. Kondisi ini akan semakin memberatkan bagi pemerintah Indonesia, sehingga kita tidak bisa membandingkan angka dengan angka antara Indonesia dengan negara lain terutama negara maju seperti Singapura.
Respons Masyarakat Indonesia Terhadap Alarm Resesi Singapura
Resesi yang dialami Singapura kemungkinan hanya akan dimengerti oleh pelaku usaha pada skala menengah ke atas dan tidak akan ditangkap langsung bagi mayoritas masyarakat Indonesia terutama masyarakat di kalangan menengah ke bawah. Mayoritas masyarakat kita mungkin tidak memahami apa maksud dari inflasi, krisis ekonomi, bahkan resesi itu sendiri.
Selain itu sudah sekitar 15 tahun ini sebelum pandemi terjadi, pertumbuhan ekonomi kita meningkat pada sisi ekonomi mikro, terlihat UMKM begitu memberi arti pertumbuhan ekonomi tersebut sebelum munculnya Covid-19.
Jika dilihat dari sisi ekonomi, bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi dari sisi mikro dan makro. Sehingga tidak mengherankan akhir-akhir ini masyarakat banyak yang tidak terlalu memperhatikan perkembangan ekonomi Indonesia secara makro yang lebih dipengaruhi ekonomi secara global.
Ditambah masyarakat kita seperti bingung dan menjadi tidak peduli lagi dengan program yang dibuat pemerintah yang berkaitan dengan pandemi Covid-19 ini. Setelah program-program yang dibuat pemerintah yang terkesan inkonsisten. Dari social distancing, PSBB dan yang terakhir kondisi new normal yang kemudian di-anulir istilah itu. Masyarakat kita khususnya yang berada di garis kemiskinan hanya berfikir ada atau tidak ada Covid-19 mereka harus tetap keluar rumah untuk berusaha/bekerja.
Bagaimana Antisipasi dan Solusi?
Kebingungan masyarakat ini, harus ditangkap dan dipahami segera oleh pemerintah Indonesia, supaya pemerintah bisa dengan tepat dalam mengambil langkah-langkah. Karena Krisis dan resesi ekonomi bukan sekedar hitungan ekonomi makro tapi dampak bagi masyarakat yang terimbas dengan krisis yang diprediksi akan berlanjut hingga akhir tahun 2020.
Dan jangan sampai kondisi yang mungkin akan menerpa Indonesia ini hanya sebagai konsumsi dan perbincangan di kalangan intelektual seperti ekonom dan akademisi. Kita tidak ingin kejadian 1998 terulang dimana ketika kondisi krisis ekonomi berkepanjangan yang dihadapi masyarakat menyulut aksi-aksi kerusuhan dan penjarahan yang sudah pasti berdampak negatif semakin luas.
Apalagi jika resesi menerpa secara global, kemungkinan Indonesia akan terdampak, meskipun kita berharap resesi tidak menular ke Indonesia. Indonesia masih memiliki beberapa bulan untuk mengantisipasi dan persiapan jika resesi benar-benar terjadi. Cara-cara lain yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah pertama mengevaluasi bantuan dalam bentuk sembako yang disalurkan selama 3 bulan ini.
Kita masih melihat bahwa bantuan sembako yang diberikan pemerintah pusat maupun daerah, masih tidak merata bahkan salah sasaran, masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan bantuan namun masyarakat yang masih dikatakan mampu justru mendapatkan bantuan tersebut.
Kedua pemberdayaan produk lokal dan hasil usaha pengusaha khususnya level mikro dan kecil.
Bantuan sembako menjadi prioritas ketika awal munculnya penyebaran Covid-19 di Indonesia dengan harapan, masyarakat mau untuk tetap tinggal di rumah, namun dengan dibukanya banyak aktivitas bisnis saat ini maka bantuan dalam bentuk sembako sudah tidak relevan.
Sebisa mungkin pemerintah mencoba memberi bantuan untuk masyarakat yang tidak mampu dalam bentuk uang tunai. Sehingga masyarakat yang mendapat bantuan tersebut bisa membeli barang-barang dari daerah dimana mereka tinggal atau yang dekat dengan mereka, terutama yang berkaitan dengan hasil pertanian dan peternakan.
Daerah-daerah yang masih mempunyai lahan dan aktivitas pertanian, perkebunan serta peternakan seharusnya adalah daerah yang paling mungkin pada kondisi aman, jika resesi terjadi, terutama untuk jangka pendek, hingga masyarakat mulai beradaptasi dengan kondisi yang sebenarnya dan mencari jalan untuk keluar dari resesi tersebut. Oleh karena itu, hasil panen petani dan peternak harusnya jadi prioritas pemerintah agar bisa dibeli oleh masyarakat Indonesia sendiri.
Ketiga di bidang kesehatan. Pemerintah harus mengantisipasi dengan memberikan bantuan yang mengarah ke distribusi obat-obatan atau vitamin yang menyentuh langsung ke masyarakat terutama yang berada di daerah-daerah yang penyebaran virus ini masih sangat tinggi. Terutama obat-obatan yang dapat menyembuhkan gejala-gejala mirip Covid-19 atau sejenisnya.
Agar masyarakat yang kurang mampu khususnya, tidak terbebani ketika harus mengeluarkan dana sendiri untuk biaya berobat. Karena semua rumah sakit pemerintah yang pada dasarnya berbiaya murah hingga sekarang masih dikerahkan untuk penanganan penyakit yang disebabkan virus corona.
Mengingat data pada katalog Profil Statistik Kesehatan tahun 2019 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa di perkotaan dan pedesaan lebih 70% masyarakat kita memilih pengobatan secara mandiri jika sakit, ini bisa diasumsikan pengobatan dengan cara tradisional atau herbal.
Sehingga kemungkinan angka yang terinfeksi virus corona hingga lebih dari 90.000 per tanggal 22 Juli 2020 bukanlah angka yang sebenarnya, dan jauh lebih tinggi. Namun banyak dari masyarakat kita yang tidak terditeksi bahkan kalau sakit pun mereka lebih memilih menangani sendiri meskipun kematian terjadi.
Selain cara-cara tersebut, maka seluruh elemen masyarakat harus bijak dalam hal penggunaan uang yang berkaitan dengan pengeluaran yang bersifat konsumtif sebagai salah satu antisipasi jangka waktu 1 tahun ini sampai dengan Covid-19 ini benar-benar hilang atau paling tidak sampai ekonomi Indonesia dan global membaik.
Oleh: Trismayarni Elen S.E., M.Si / Praktisi dan Akademisi Akuntan