Konflik Rusia-Ukraina bak perselisihan antara orang tua dan anak yang tak kunjung usai. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, bersedia membahas adopsi status netral sebagai unsur dari perundingan damai dengan Rusia.
“Jaminan keamanan dan netralitas, status non-nuklir di Ukraina. Kami bersedia untuk itu. Itu adalah unsur terpenting,” ujar Zelenskyy dikutip RTE, Senin (28/3/2022).
Sebelumnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin meradang usai Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy mengatakan kepada dunia bahwa Ukraina ingin bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO). NATO merupakan organisasi pertahanan Internasional di negara Atlantik Utara.
Organisasi ini sudah pernah menolak Rusia ketika ingin bergabung ke dalamnya. Tersiar kabar NATO menolak Rusia karena tidak ingin Rusia menjadi negara yang mendominasi dari segi militer. Amerika Serikat (AS) takut hadirnya Rusia dapat berakibat kepada menurunnya eksistensinya sebagai negara yang kuat dan mendominasi.
Lantas, apa yang menjadi alasan negara Ukraina untuk bergabung ke dalam NATO, mengingat Rusia saja ditolak oleh NATO? dan mengapa Rusia menyerang Ukraina ketika mendengar kabar bahwa Ukraina ingin bergabung dengan NATO?
Hubungan Antara Rusia, Ukraina, dan NATO
Sebenarnya, ini bukanlah kali pertama perselisihan panas antara Rusia dan Ukraina terjadi. Rusia dan Ukraina sudah mulai berkonflik beberapa tahun ke belakang. Salah satunya, pada tahun 2013-2014 di mana Rusia dituduh melakukan agresi militer ke wilayah Krimea, wilayah bagian Ukraina.
Konflik tersebut disebabkan oleh krisis politik, di mana Presiden keempat Ukraina Viktor Yanukovych membuat banyak kebijakan yang kontroversial. Hal ini menyulut amarah rakyat Ukraina. Pada saat itu, Rusia datang sebagai penengah. Akhirnya, rakyat Ukraina berhasil melengserkan Viktor. Sayangnya, hal ini melahirkan polarisasi rakyat Ukraina menjadi kubu pro dan kontra terhadap Rusia.
Bila menilik kembali ke upaya Rusia dalam membantu penyelesaian konflik domestik di Krimea, Rusia sebenarnya berusaha keras untuk menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu caranya ialah dengan menurunkan pasukan militernya ke wilayah Krimea. Namun, langkah tersebut malah berakhir kepada tuduhan bahwa Rusia ingin menguasai Krimea.
Rusia yang merasa kesal atas tuduhan itu langsung berbalik menyerang Krimea. Bak udang dibalik batu, ternyata Rusia juga ingin menjaga wilayah Krimea yang sangat strategis untuk akses masuk dan aktivitas lain. Konflik inilah yang kemudian menumbuhkan banyak masalah-masalah lain yang terjadi antara Rusia dan Ukraina yang berakar sampai saat ini.
Lalu bagaimana hubungan antara Rusia dengan NATO? Rusia sejak dulu memang menolak ikut campur dan bergabung dengan organisasi pertahanan ini. Pasalnya, Rusia sangat tidak ingin mempertontonkan rahasia militernya kepada dunia, khususnya tentang nuklir. Hal ini jelas bertentangan dengan aturan NATO terkait transparansi militer bagi tiap anggotanya.
Alasan lain enggannya Rusia bergabung adalah untuk menjaga keharmonisannya dengan China. Rusia sampai saat ini berhubungan erat dengan China dalam berbagai hal. Rusia takut mencederai perasaan China, mengingat salah satu anggota NATO adalah Amerika Serikat. Di mana, kedua negara ini masih terus berkonflik.
Di sisi lain, Rusia sudah tergabung dalam organisasi pertahanan keamanan kolektif (CSTO). Apabila Rusia bergabung dengan NATO, maka otomatis Rusia akan keluar dari CSTO. Namun, dari beberapa alasan tadi Rusia pernah dengan senang hati mencoba bergabung ke dalam NATO, tapi apa daya justru ditolak mentah-mentah oleh NATO sendiri.
Jika flashback kembali, dapat dilihat bahwa hubungan antara Rusia dan NATO memang sudah tidak harmonis. Lalu mengapa Ukraina secara tiba-tiba ingin bergabung dengan NATO, padahal sudah berada di bawah perlindungan dari Rusia bahkan dulunya sudah pernah dibantu oleh Rusia?
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy secara mengejutkan mengatakan bahwa Ukraina ingin bergabung dengan NATO pada Februari 2022. Hal ini tentunya secara tidak langsung menjadi sinyal berbahaya untuk Rusia karena dapat merusak perdamaian negara pecahan Uni Soviet lainnya.
Alasan pecahnya konflik Rusia – Ukraina
Fokus utama dalam pecahnya konflik antara Rusia dan Ukraina pada 24 Februari 2022 tidak lain karena keinginan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy agar Ukraina bergabung ke dalam NATO. Zelenskyy tergiur atas iming-iming keuntungan apabila Ukraina bergabung dengan NATO.
NATO menjanjikan bantuan apabila terjadi konflik antara negara anggotanya yang melibatkan pertahanan dan militer. Iming-iming ini membuat Zelenskyy tergiur karena secara tidak langsung bisa meningkatkan pertahanan Ukraina.
Keinginan bergabungnya Ukraina dalam NATO ternyata bukan salah satu fokus utama yang menjadikannya Ukraina diserang Rusia. Melainkan, terdapat dua faktor menarik lain yang menengahi konflik ini. Di antaranya isu permintaan perlindungan dan Kerjasama Jerman-Rusia.
Isu Permintaan Perlindungan dari Separatis Rusia
Adanya permintaan perlindungan dari diskriminasi yang dirasakan oleh para kelompok separatis Rusia di wilayah Timur Ukraina menjadi satu alasan pecahnya konflik Rusia – Ukraina dewasa ini. Vladimir Putin mengatakan bahwa etnis mereka sudah didiskriminasi di wilayah Ukraina.
Kelompok separatis kemudian meminta perlindungan dan bantuan dari Rusia.. Para separatis ini meminta pengakuan kemerdekaan atas wilayah mereka yaitu Donetsk dan Luhansk.
Menanggapi hal itu, Rusia langsung mengakui bahwa wilayah Donetsk dan Luhask sudah merdeka dari kekuasaan Ukraina. Dengan alasan, dulunya kedua daerah itu masih merupakan wilayah Rusia. Ini menjadi titik nadir invasi Rusia atas kemerdekaan Ukraina.
Isu Kerjasama Pipa Gas Alam Jerman – Rusia
Selain isu separatisme, isu Kerjasama ini menjadi fokus yang menarik dalam konflik Rusia – Ukraina. Secara mengejutkan, Jerman menjadi “orang ketiga” sebagai pemantik pertikaian antara dua negara bekas Uni Soviet ini.
Jerman dan Rusia diketahui merencanakan kerjasama di bidang gas alam, atau dikenal dengan Proyek Nord Stream 2. Kerjasama ini sudah sangat matang dan sudah siap untuk dilaksanakan. Akan tetapi, Amerika Serikat (AS) tidak merestui kerjasama ini.
Pasalnya, AS tidak ingin Jerman tergantung dengan Rusia untuk urusan perdagangan dan tidak ingin kehilangan kendali atas perdagangan tersebut. AS cenderung tidak menginginkan Jerman dan Rusia menjadi mitra bisnis yang kemudian dapat melepaskan Jerman dari lingkaran perdagangannya.
Kerjasama Nord Stream 2 digagalkan AS dengan cara mengalihkannya dengan isu baru, yaitu wacana Ukraina bergabung dengan NATO. Hal ini terbukti berhasil menggagalkan kerjasama antara Jerman dan Rusia.
Akibat invasi ini, Rusia dilabeli sebagai ‘negara yang jahat dan melanggar hukum internasional serta membahayakan dunia’. Sontak, Rusia mendapat sanksi dari berbagai negara dan memengaruhi perjanjiannya dengan Jerman.
Rentetan Peristiwa diatas tentu menjadi ancaman bagi Rusia. Apalagi, bila NATO sampai mendirikan pangkalan militernya di wilayah Timur, maka perdamaian dan pertahanan di wilayah Timur menjadi membahayakan. Oleh karena itu, Rusia tidak ingin NATO ada di wilayahnya.